ilustrasi gambar: www.awid.org
Oleh: MHD. Zakiul Fikri
Andai Islam sudah mendarat dengan elok di daratan Inggris dan Prancis pada era tahun 1550 hingga akhir tahun 1700-an mungkin sejarah terhadap feminisme menjadi lain. Bisa dibayangkan, 10 abad sebelum benih feminisme tumbuh, Muhammad bin Abdullah telah mengajarkan bahwa sesungguhnya baik laki-laki maupun perempuan memiliki kapasitas agensi, pilihan, dan individualitas moral yang sama.
Pembahasan
Singkat Tentang Feminisme
Kajian
mengenai feminisme hingga hari ini masih menjadi topik yang seksi untuk
dibicarakan. Aliran ini ditengarai berawal dari kegelisahan perempuan terhadap
fenomena abad ke-16, hingga lahir pada abad ke-18 sebagai generasi gerakan
pertama atau sekitar tahun 1700-an. Kini feminisme bukan lagi berada pada
generasi gerakan pertama, bahkan sudah jauh melewati generasi gerakan kedua.
Pada mulanya faham ini hanya membahas seputar term feminisme semata,
kini mulai masuk ke term postfeminisme dan postmodernisme. Artinya,
hingga saat ini tetap saja dianggap suatu hal yang menarik berkenaan dengan
isu-isu yang dibawa oleh faham feminisme seperti kesetaraan antara laki-laki
yang senantiasa digaungkan, dikaji, didebatkan dan bahkan dipertengkarkan dalam
ruang kehidupan sehari-hari lewat berbagai pendekatan keilmuan. Namun uniknya,
kajian feminisme cenderung menempatkan dunia barat sebagai prototipe sehingga lahir pandangan mendasar bahwasanya feminis itu
adalah seperti di dunia barat sana. Kasarnya, perempuan baru dianggap feminis
bilamana ia berlagak layaknya perempuan dalam kehidupan dunia barat.
Bicara
tentang feminisme pada dasarnya, dari semangat gerakan, memiliki kemiripan
dengan sosialisme. Tapi, dibalik kemiripan semangat itu terdapat perbedaan yang
prinsipiil. Setidaknya demikianlah pendapat yang disampaikan oleh Correa Moylan
Walsh. Lengkapnya, ia mengatakan, “As socialism is a demand for equality of
the poor with the rich, so feminism is a demand for equality of women with men.
The have in common that they both seek excessive equality, with the difference
that the one reaches out for complete equality for property, the other for
complete equality of the sexes.” Sosialime menuntut kesetaraan antara kaum papa dengan kaum borjuis,
sementara feminisme menuntut kesetaraan antara para perempuan dan para
laki-laki. Dua gerakan tersebut sama-sama berjuang untuk mewujudkan kesetaraan.
Tapi yang satu berjuang untuk mewujudkan kesetaraan dalam hal harta benda
(kekayaan), dan yang satunya berjuang untuk mewujudkan kesetaraan dalam hal
seksualitas (jenis kelamin).
Dalam
tulisannya yang berjudul The Controversies of Feminism, Sarah Gamble
mengatakan, What, exactly, is feminism? A general definition might state
that it is the belief that women, purely and simply because they are women, are
treated inequitably within a society which is organised to prioritise male
viewpoints and concern. Tulisan
yang ditulis sebagai pengantar pada buku The Routledge Companion to Feminism
and Postfeminism itu memberikan penjelasan bahwasanya feminisme merupakan
suatu keyakinan yang memandang perempuan adalah seonggok manusia yang
diberlakukan secara tidak adil dalam kehidupan sosial yang mayoritas didominasi
oleh laki-laki.
Stephanie
Hudgson-Wright menggambarkan akar muasal dari gerakan feminisme, “… as any
attempt to contend with patriarchy in its many manifestations between
1550-1700. The period 1550-1700 saw no legislated improvement in the position
of women. At the end of the period, as at the beginning, women did not have any
formal rights in local or national government, including the right to vote.
Although conditions for education of women largely improved from 1550-1700,
women were barred from receiving a university education and the concomitant
benefits. Having said that, the vast majority of the population, male and
female, had no voting rights, and but little access to education and legal
representation. Women had no recourse to law for equality of pay and
conditions, and married women had no legal independence from their husbands.”
Mari
perhatikan tulisan Hudgson-Wright di atas. Penjabaran tersebut menjelaskan
sejarah yang menjadi asbabun nuzul dari gerakan feminisme. Jadi, gerakan
feminisme ini pada dasarnya lahir dari keinginan melawan Patriarki, suatu
sistem yang menyebabkan perempuan tersubordinat dari laki-laki. Suatu sistem
yang menurut Dale Spender juga dikenal sebagai androcentric system, dimana laki-laki menjadi pusat segala bentuk dominasi. Karena itu
Hudgson-Wright menceritakan era 1550-1770 yang terjadi di dunia barat,
khususnya Inggris dalam kasus ini, perempuan tidak memiliki kekuatan apa-apa
dalam kehidupan sosial. Mulai dari hak dipilih dan atau pun memilih, kesetaraan
dihadapan hukum, bahkan hak untuk belajar hingga perguruan tinggi hampir tidak
dimiliki perempuan. Kepapaan perempuan terkecualikan, menurut Hudgson-Wright,
bagi perempuan yang tergolong menjadi bagian dari aristoktratik yaitu kelompok
kerajaan, pejabat atau bangsawan pada umumnya.
Selain
fenomena yang terjadi di Inggris, di Prancis pada tanggal 5 oktober tahun 1789
meletus sebuah revolusi yang salah satunya menyuarakan kesetaraan hak
perempuan. Revolusi itu dimulai dengan banyaknya perempuan yang melakukan
demonstrasi massa dari Paris menuju Versailles. Hal ini dipicu oleh kebijakan
Raja Louis XVI yang menolak penghapusan sistem feodal. Yakni sistem yang selama
ini menyengsarakan rakyat kecil, termasuk kalangan perempuan. Para perempuan
yang berdemonstrasi di Versailles itu merupakan kelompok yang menamakan diri
feminis, yang berjuang untuk kepentingan hak-hak perempuan. Selama ini mereka
terpinggirkan dengan tidak memiliki hak politik dan hak sebagai warga negara
aktif.
Demikianlah,
singkatnya, kisah kesejarahan feminisme yang berawal dari tahun 1500-an hingga 1700-an.
Selanjutnya, bagaimanakah Islam menanggapi fenomena feminisme? Tepatnya,
bagaimana Islam memandang kedudukan perempuan dengan laki-laki dalam kehidupan?
Karena era awal kemunculan feminisme kegelisahan perempuan yang menyebut diri
kemudian hari sebagai penganut feminisme tidak hanya terbatas sebab ketimpangan
hak seksual atau pun hak sosial dalam kehidupan bernegara, tapi juga disebabkan
oleh keingingan untuk merevisi esensialis subordinasi perempuan dalam ajaran
gereja yang notabene merupakan lumbung agama. Oleh karenanya, Islam sebagai agama, memiliki otoritas untuk ikut menjawab
kegalauan perempuan dunia barat tersebut.
Catat
kembali bahwa jauh sebelum abad ke-16, tepatnya pada abad ke-7 atau sekitar
tahun 600-an, di daratan Jazirah Arab yang tidak terlalu jauh dari daratan
barat muncul seorang manusia yang mengajarkan prinsip serta nilai kesetaraan
hidup antara laki-laki dan perempuan. Beliau hadir dengan konsepsi
penyempurnaan terhadap ajaran agama Islam yang dibawa dan diajarkan oleh
generasi manusia sebelumnya. Manusia itu bernama Muhammad bin Abdullah, Nabi
dan Rasul terakhir bagi penganut Agama Islam. Fenomena kehidupan dunia Jazirah Arab di masa sebelum munculnya pengaruh Muhammad bin Abdullah
mungkin jauh lebih parah ketimbang apa yang dialami masyarakat barat di abad
ke-16. Dalam riwayat yang banyak disebut orang dikatakan bahwa sebelum Muhammad
bin Abdullah menyuarakan ajaran-ajaran Islam yang telah mengilhaminya,
kedudukan perempuan tidak mempunyai harga sama sekali bagi beberapa kalangan
suku di daratan Arab. Bahkan memiliki anak perempuan merupakan aib yang besar
bagi masyarakat. Karena dianggap tidak berguna, tidak bisa berperang dan tidak bisa
mewariskan kejayaan serta kemuliaan. Perlakuan terhadap perempuan layaknya
barang atau benda mati belaka, yakni sesuatu yang bisa diwariskan.
Hakikat
Perempuan dalam Ajaran Islam
Tindakan
pelecehan dan merendahkan martabat perempuan dalam kalangan masyarakat Arab
terus terjadi hingga hadir Muhammad bin Abdullah memimpin gerakan pembaharuan
yang membongkar paradigma dan kebiasaan patriarki masyarakat Arab lewat misi
kenabiannya, yakni menyempurnakan akhlak manusia. Misi kenabian tersebut ia tunaikan dengan berpegang pada sebuah pedoman suci
bernama al-Qur’an, yang pada masa sesudahnya dibukukan menjadi kitab suci oleh
sahabat dan kerabatnya menggunakan metode keilmuan yang ada pada waktu itu. Di
dalam kitab suci al-Qur’an, menurut Amina Wadud, terdapat prinsip dasar yang
menjamin kesetaraan manusia dalam kehidupan dunianya. Prinsip dasar yang dimaksud
ialah taqwa, sebagaimana diterangkan secara eksplisit di dalam al-Qur’an surah
al-Hujarat [49] ayat 13.
Agama
Islam dengan al-Qur’an sebagai bacaan dan tuntunan wajibnya mengatur bahwa
tidak dibenarkan perempuan diperlakukan secara rendah, atau tersubordinat dari
laki-laki sebagai mayoritas yang menghegemoni. Bahkan gerakan Islam yang
diajarkan oleh Muhammad bin Abdullah telah mengubah status hukum perempuan yang
sebelumnya merupakan objek layaknya barang, lalu menjadi subjek yang sama
seperti halnya laki-laki. Dengan demikian, perempuan tidak dapat menjadi harta
warisan yang bisa diturunkan pemanfaatannya dari satu laki-laki ke laki-laki
lainnya dalam satu keluarga. Hal yang lazim terjadi pada masa kebiadaban
masyarakat Arab.
Murtadha
Muthahhari dalam The Right of Women in Islam mengatakan al-Qur’an tidak
memberikan peluang bagi orang-orang yang berbicara omong kosong untuk
menyampaikan filsafat-filsafatnya perihal serangkaian hukum berkenaan gender;
laki-laki dan perempuan. Sebab Islam dengan eloknya telah merumuskan
pandangan-pandangannya tentang perempuan. Bahkan esensi penciptaan antara
laki-laki dan perempuan dalam pandangan Islam adalah sama. Mengenai hal ini,
al-Qur’an dalam surah an-Nisa’ [4] ayat 1 mengatakan, “…yang menciptakanmu
dari satu esensi lalu dari yang satu itu diciptakan berpasangan dan dari
pasangan ini diciptakan laki-laki dan perempuan yang banyak…”
Banyak
sekali hadits Muhammad bin Abdullah yang berisi nilai-nilai dan tuntunan akan
kesetaraan kedudukan perempuan dalam kehidupan. Namun, terdapat sebuah hadits
yang masih sering dijadikan legitimet oleh mereka yang senantiasa merendahkan
martabat perempuan. Hadits itu diriwayatkan oleh Al-Hakim (IV/174) dan ia
menilainya shahih sesuai syarat Muslim serta disetujui oleh adz-Dzahabi, Ibnu
Hibban (no. 1308) dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul
Jaami’ (III/163). Bunyinya hadits yang dimaksud, “Perempuan itu
diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, jika kamu meluruskannya maka kamu akan
mematahkannya. Jadi, berlemah lembutlah terhadap perempuan, maka kamu akan
dapat hidup bersamanya.” Ada beberapa versi lain mengenai bunyi hadits ini,
tapi komponen dan unsur-unsur katanya lebih kurang sama.
Konteks
locus dan tempus dari pada hadits di atas perlu dimengerti, agar dapat ditarik
kesimpulan apakah ia bisa dimaknai secara harfiah atau metaforik? Sejauh apa
cakupan makna dan hukum yang lahir dari pernyataan Muhammad bin Abdullah itu, tak terbatas atau berlaku sebatas pada tempat dan waktu tertentu? Lalu mengapa
hadits tersebut terucap? Bila dimaknai secara harfiah, masih terjadi ikhtilaf
di antara ulama-ulama hadits berkenaan dengan ungkapan yang menyebutkan
perempuan berasal dari tulang rusuk laki-laki yang bengkok. Karena itu, salah
satu pesan yang dapat dipetik secara universal ialah bukan masalah penciptaan
perempuan yang hendak disampaikan di dalam hadits, tapi perintah kepada
laki-laki agar berlemah-lembut terhadap perempuan dalam hubungannya dan
hendaklah bersikap lebih bijaksana dalam berinteraksi dengan mereka, karena
kekerasan tidak akan berdampak baik. Demikian juga jika membiarkannya, maka
akan merugikan kedua belah pihak.
Tidak
ada bukti riil dalam al-Qur’an yang menyebutkan rendahnya esensi penciptaan dan
potensi perempuan. Selain al-Qur’an surah an-Nisa’ [4] ayat 1 di atas, masih
ada banyak ayat al-Qur’an lainnya yang berbicara tentang hakikat kesetaraan
esensi penciptaan antara perempuan dan laki-laki. Salah satunya, al-Qur’an
surah ar-Rum [30] ayat 21 yang menyebutkan, “Dan di antara tanda-tanda
(kebesaran)-Nya [Allah] ialah Dia menciptakan para pasangan untukmu dari
jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia
menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu
sebetulnya terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” Surah dan ayat ini memblokade segala bentuk penafsiran yang menjurus kepada
tindakan bias gender yang merendahkan posisi perempuan. Sebab secara eksplisit
disebut bahwa sesungguhnya perempuan itu berasal dari jenis yang sama seperti
laki-laki berasal.
Hak Sipil dan
Politik Perempuan dalam Ajaran Islam
M.
Quraish Shihab mengatakan asal kejadian laki-laki dan perempuan sama, yaitu
dari hasil pertemuan sperma laki-laki dan ovum perempuan sebagaimana ditegaskan
di dalam surah al-Hujarat [49] ayat 13. Karena
esensi penciptaannya sama, maka potensi beraktifitas dalam kehidupan sosial
antara laki-laki dan perempuan pun juga harus sama. Perlu disadari, terdapat
banyak ayat al-Qur’an yang menunjukkan kemitraan antara laki-laki dan perempuan,
serta keharusan mereka bekerjasama dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam kehidupan
bermasyarakat, demikian menurut Quraish Shihab, Allah melukiskan peranan
laki-laki dan perempuan sebagai sebagian mereka adalah penolong bagi
sebagian yang lain (al-Qur’an Surah at-Taubah [9] ayat 71). Ayat ini
mengandung arti bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kelebihan yang menjadi
keistimewaan dan kekurangan masing-masing, sehingga diharuskan terjalinnya kerjasama
di antara keduanya.
Selain
ketentuan dalam al-Qur’an surah at-Taubah [9] ayat 71 di atas, salah satu ayat
lain yang membicarakan perihal persamaan potensi yang dimiliki laki-laki dan
perempuan dalam menjalankan tugas kehidupan sosial ialah al-Qur’an surah
an-Nisa’ [4] ayat 124 yang menyatakan, “Dan siapa saja yang mengerjakan
perbuatan baik; baik dari laki-laki atau pun perempuan sementara ia seorang
yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya
walau sedikitpun.” Ayat ini menjelaskan secara terang bahwa baik laki-laki
dan perempuan memiliki kesetaraan dalam ikhwal pemenuhan hak sipil dan politik.
Layaknya
laki-laki, menurut ajaran Islam kedudukan perempuan setara dalam pemenuhan hak
untuk mendapatkan kesempatan belajar ke perguruan tinggi. Landasannya, bukankah
Muhammad bin Abdullah telah mengajarkan, “Mencari ilmu itu adalah wajib bagi
setiap muslim laki-laki maupan muslim perempuan.” (Hadits Riwayat Ibnu
Abdil Barr). Selain itu, al-Qur’an dengan tegas menyebutkan bahwasanya Allah mengangkat
derajat orang yang berilmu. Dan tentu saja, kesempatan berbuat guna mengangkat
derajat lewat ilmu adalah setara bagi laki-laki dan perempuan.
Sementara
itu, perihal hak politik; baik untuk memilih dan dipilih antara laki-laki dan
perempuan pun harus dipandang memiliki potensi yang sama. Pemaksaan terhadap
tafsir patriarki dimana menempatkan perempuan pada keadaan inferior dalam hak
politik, sementara laki-laki dianggap sebagai sosok superior, jelas
bertentangan dengan ajaran Islam. Misal dalam aspek politik kepemimpinan
perempuan, Islam dengan indah lewat al-Qur’an mengisahkan perjalanan politik
seorang pemimpin perempuan sukses bernama Ratu Balqis. Sosok yang digambarkan
adil, demokratis, lugas, cerdas dan berintegritas. Hal
ini, menurut Samsul Zakaria, membuktikan bahwa sebenarnya perempuan juga
memiliki kompetensi atau kemampuan untuk memimpin, sekaligus menjadi pemimpin
yang sukses. Amina Wadud juga membuat silogisme untuk menjelaskan argumentasi perihal
setaranya hak politik antara laki-laki dan perempuan, ia menggambarkan sebagai
berikut,
A
|
B
|
Semua laki-laki adalah manusia.
Ahmad adalah seorang laki-laki.
Ahmad adalah manusia.
|
Semua manusia bisa menjadi pemimpin.
Perempuan adalah manusia.
Perempuan tidak bisa menjadi pemimpin.
|
Dua silogisme
di atas menggambarkan kebenaran berpikir dan kesesatan berpikir. Silogisme pertama
atau A adalah silogisme yang sesuai dengan kaidah logika “Jika salah satu
diantara premis yang ada adalah partikular, maka kesimpulan yang diambil juga
harus partikular”. Sementara silogisme kedua atau B adalah bentuk kesesatan
berpikir (fallacy) yang terjadi akibat bertentangan dengan kaidah
logika, sebab kesimpulan negatif hanya bisa ditarik apabila salah satu dari dua
premis termuat konotasi negatif. Sedangkan pada silogisme B diisi oleh dua
premis yang sama-sama positif.
Amina
Wadud sendiri mengatakan bahwa dari dua silogisme di atas, kolom B jelas
mengandung double-talk yang membawa kepada ketidakjelasan linguistik dan
memberi makna yang multivalen. Fenomena ambigu ini sering membuka peluang pihak
tertentu untuk memanipulasi penafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Jadi, kolom B merupakan
konfigurasi silogisme yang tidak benar, dan tindakan tersebut tidak patut untuk
dipertahankan. Amina Wadud lebih lanjut mengatakan jika double-talk seperti
ini terus dilestarikan dalam kajian gender, maka penderitaan perempuan akan
semakin panjang karena bias gender akan terus mewarnai undang-undang dan
peradilan Islam.
Penutup
Sebagai langkah guna mengakhiri tulisan ini, penulis hendak menegaskan dalam pandangan Islam gerakan
feminisme tidak lebih dari sekedar gerakan baper kalangan perempuan yang belum
tersirami cahaya dan nilai Islam. Andai Islam sudah mendarat dengan elok di
daratan Inggris dan Prancis pada era tahun 1550 hingga akhir tahun 1700-an
mungkin sejarah terhadap feminisme menjadi lain. Bisa dibayangkan, 10 abad
sebelum benih feminisme tumbuh, Muhammad bin Abdullah telah mengajarkan bahwa
sesungguhnya baik laki-laki maupun perempuan memiliki kapasitas agensi,
pilihan, dan individualitas moral yang sama. Hal tersebut berdasarkan, mengutip
Asma Barlas, pada; Pertama, al-Qur’an menetapkan standar perilaku yang
sama bagi laki-laki dan perempuan serta standar penilaian yang sama bagi
keduanya. Artinya, al-Qur’an tidak mengaitkan agensi moral dengan jenis kelamin
(al-Qur’an Surah an-Nahl [16]: 97). Lalu, Kedua, al-Qur’an menyebut laki-laki
dan perempuan sebagai penuntun dan pelindung satu sama lain (al-Qur’an Surah
at-Taubah [9]: 71).
Terakhir,
mari simak pendapat Buya Hamka berikut tentang makna nafsin wahidatin dalam
al-Qur’an surah an-Nisa’ ayat 1. Menurutnya ayat ini bukanlah semata-mata
tertuju pada tubuh yang kasar, melainkan pengertian biasa yaitu diri. Maksudnya,
diri manusia hakikatnya satu, kemudian dibagi dua; satu bagian menjadi
laki-laki dan satu bagian lainnya menjadi perempuan. Sehingga pada muaranya dapat
disimpulkan bahwa hakikatnya yang dua (laki-laki dan perempuan) itu adalah
satu. Maka terasa sebetulnya yang satu tetap memerlukan yang lain. Dalam arti
lain, Hamka hendak menyampaikan hidup belum lengkap sebagai manusia bilamana
keduanya belum dipertemukan kembali atau “belum disatukan”.
2 comments
hoi
ReplyDeletehoi hoi
Delete