Sosok Artidjo Alkostar dalam buku “Metode Penelitian Hukum Profetik”
ilustrasi gambar: dokumentasi penulis
Oleh : MHD. Zakiul Fikri
Peneliti dalam melakukan analisis hukum dapat menggunakan metode interpretasi yang bersifat restrospektif, lanjut Artidjo, yaitu dengan mencari makna pasal aturan hukum yang transendental, yang profetik, yang hakiki.
Bagi kalangan
elit politik, pengusaha besar yang sering bersinggungan dengan dunia hukum, dan
mahasiswa serta pelaku prakrisi dan akademisi hukum pada umumnya, siapa sih
yang tidak kenal dengan sosok Artidjo Alkostar? Hampir tidak ada. Jika pun ada
yang tidak kenal, mungkin yang bersangkutan kurang waras melihat fenomena yang
terjadi di depan matanya. Artidjo Alkostar adalah Pensiunan Hakim Agung yang
pernah menjabat sebagai Ketua Muda Kamar Pidana Mahkamah Agung Indonesia.
Setelah 18 tahun menjadi Hakim Agung, pada Mei 2018 beliau pensiun dari tugas
mulianya itu.
Palu artidjo
terkenal ‘brutal’, brutal dalam arti tak kenal ampun dan negosiasi politis
terutama dalam menangani serta memutus perkara-perkara korupsi. Oleh sebab itu
pula, tak sedikit jumlah koruptor yang tidak menyenanginya. Galaknya palu
sidang beliau, hingga situs online detik.com pernah merilis 12 koleksi vonis
Artidjo Alkostar yang diupdate pada tanggal 22 Mei 2018. Kisah selanjutnya,
mengenai pribadi Artidjo Alkostar silahkan meluncur di berbagai referensi yang
ada; baik buku, jurnal, majalah, koran, hingga coretan-coretan di berbagai
situs online yang menulis tentang beliau. Tidak semua orang menanggapi
baik Kegalakan palu Artidjo Alkostar. Ada juga yang berseberangan dengan
meragukan kualitas putusan beliau, misal dengan mengatakan “Artidjo terlalu
sering memutus perkara ultra petita, alias putusan hukum dibuat melebihi
tuntutan dalam surat dakwaan pada Judex Factie sehingga hal tersebut
jauh dari penegakan nilai hak asasi manusia”.
Untuk menjawab
keraguan setiap orang; baik politisi, praktisi, akademisi atau pun cukong
(baca: pengusaha besar) terhadap kualitas putusan yang diorbitkan oleh Artidjo
Alkostar semasa menjabat sebagai Hakim Agung ada baiknya membaca buku Metode
Penelitian Hukum Profetik yang ditulis sendiri oleh beliau dan diterbitkan
pertama kali menjelang akhir tahun 2018 oleh FHUII Press. Saya pikir, karya
yang diterbitkan pasca beliau pensiun dari jabatan selaku Hakim Agung ini
berisi kerangka berpikirnya sendiri yang hendak dibagi kepada khalayak peneliti,
pemerhati, penegak hukum dan masyarakat umumnya. Kerangka berpikir itu menggambarkan
sedikit banyak dinamika inferensi dalam memutus perkara Judex Juris yang
sampai ke meja kerjanya selaku Hakim Agung. Buku ini menarik untuk dibaca, pembahasannya
bagus yang disertai contoh kasus. Sehingga membantu pembaca dalam usaha
memahami maksud dari tulisan tersebut. Konten buku inilah yang akan saya coba
uraikan.
Pada bagian
awal buku, Atidjo mengatakan etos penelitian hukum adalah menemukan makna yang
sejati dari hukum yang diteliti, sehingga peneliti memaksimalkan potensi
intelektual dan spiritual dalam meneliti permasalahan yang dipilih. Ketika
berbicara tentang entitas hukum dalam dunia keilmuan pada bab II, ia
menjelaskan bahwasanya ilmu berisi kebenaran yang diyakini kesahihannya melalui
penalaran yang tepat. Sedangkan nalar merupakan akal budi yang penuh
pertimbangan. Nalar merupakan kontinum kaidah moralitas, kesusilaan, etika, dan
akhlak yang secara berkelanjutan menjadi pedoman dan menjaga keseimbangan yang
dibutuhkan dalam kehidupan manusia. Suatu kebenaran ilmiah harus sanggup
diverifikasi dan difalsifikasi agar memperoleh legitimasi keilmiahannya. Untuk
itu, penelitian hukum harus didudukkan pada habitatnya yang asasi yaitu yang
ada dalam ranah keilmuan, bukan pada pengukuhan dogma atau aliran.
Ketika
berbicara tentang legal problem di dalam buku ini dikatakan, beberapa
upaya menemukan permasalahan hukum dapat dimulai dari berpikir reflektif
terhadap hukum yang ada. Dapat pula dengan berpikir kontemplatif untuk menemukan
cita ideal dari hukum yang seharusnya ada dalam masyarakat. Produk dari
berpikir tersebut ialah ditemukannya permasalan hukum yang bisa disebabkan oleh
beberapa hal, diantaranya:
1)
Adanya
kekosongan hukum;
2)
Tidak
dapat diterapkannya suatu aturan hukum yang tertuang dalam rumusan pasal
undang-undang;
3)
Ada
fakta hukum yang tidak sesuai dengan kaidah atau norma hukum;
4)
Suatu
kaidah atau norma hukum kehilangan relevansi sosio-yuris dalam realitas
kehidupan masyarakat; dan
5)
Ada
perbuatan melawan hukum.
Permasalahan-permasalahan
di atas menuntut para peneliti hukum untuk menemukan solusinya. Dalam konteks
pemikiran si penulis, peneliti hukum yang dimaksud oleh Artidjo Alkostar dalam
bukunya ini harus dipahami juga teruntuk bagi para penegak hukum, misalnya hakim,
sehingga bukan sekedar akademisi. Karena tugas hakim adalah meneliti masalah
hukum yang ada dalam persidangan, yang biasanya dibahasakan dengan “hakim
diharuskan menemukan hukum lewat fakta-fakta persidangan dan referensi
keilmuan”. Para peniliti hukum dan/atau penegak hukum apalagi seorang hakim,
jika kita kutip kalimat dalam buku ini, tidak diperkenankan untuk menggunakan
teori yang tidak lagi relevan secara ilmiah. Menurut Artidjo, orang yang
mempergunakan teori yang sudah kehilangan relevansi ilmiah dan/atau relevansi
sosialnya, akan mempengaruhi kredibilitas orang tersebut. Pernyataan ini,
menjadi warning bagi para peniliti dan penegak hukum agar lebih
berhati-hati dalam menggunakan teori yang ada.
Penggunaan
teori penting pada saat melakukan legal analysis. Salah satu teoti
analisis hukum yang dibahas dalam buku ini yakni teori yang dikemukakan oleh
Helene S. Shapo dan kawan-kawan dalam Writing and Analysis in the Law
yang menunjukkan adanya lima komponen yaitu; 1) Fact, merupakan case
position description atau peristiwa hukum yang terjadi sehingga menuntut
diselesaikan. 2) Issue (s), adalah pertanyaan tentang hukum apa yang
harus dipergunakan pengadilan dalam menyelesaikan peristiwa hukum tersebut. 3) Holding
(s), merupakan legal statement yang ada dalam the court decision.
4) Reasoning, merupakan komponen tentang pertimbangan-pertimbangan hukum
yang mendasari putusan pengadilan tersebut. Dan 5) policy, merupakan the
social policies atau goals yang terkandung dalam hakikat keberadaan
aturan hukum tersebut.
Dalam buku ini
dijelaskan juga bahwa legal analysis merupakan instrumen logis yang
dipergunakan oleh peneliti dalam upaya menelaah obyek penelitian hukum.
Peneliti akan berhadapan dengan proposisi yang ada dalam teks perangkat aturan
hukum yang harus ditelaah secara benar. Misal, Seorang bernama Alex Yoko yang
bekerja sebagai buruh tani melakukan penggelapan barang milik tetangganya, akan
berbeda dengan Alex Yoko yang bekerja sebagai bupati melakukan penggelapan
beras milik negara dalam pelaksanaan pendistribusian beras untuk orang miskin.
Sehingga meskipun subjek sama tetapi predikatnya berbeda, maka berbeda pula
perlakuan hukumnya secara yuridis. Dari contoh kasus ini dipahami satu hal yang
tak kalah penting, yakni salah satu pisau analisis hukum adalah interpretasi
sebagai proses untuk menemukan makna yang sebenarnya dari norma aturan hukum
yang diteliti.
Peneliti dalam
melakukan analisis hukum dapat menggunakan metode interpretasi yang bersifat
restrospektif, lanjut Artidjo, yaitu dengan mencari makna pasal aturan hukum
yang transendental, yang profetik, yang hakiki. Menurut saya, inilah salah satu
titik awal menuju klimaks pembahasan dari buku. Artidjo mengatakan karena di
atas hukum masih ada hukum yaitu the golden rule, akal semesta, common
sense, akal sehat, kepantasan, yang secara umum diterima oleh masyarakat
bangsa beradab. Dalil pendekatan ini menganggap bahwa hukum buatan manusia memiliki
keterbatasan (the limit of law) yang tidak akan sanggup berhadapan
dengan hukum alam semesta (sunnahtullah). Karena itu, the limit of
law harus dimampukan dengan kaidah hukum yang imanen (selalu tetap ada).
Selain
interpretasi yang bersifat restrospektif, dapat pula menggunakan interpretasi
yang bersifat prospektif. Interpretasi ini menggunakan kacamata masa datang dan
berusaha untuk selalu mengada dan aktual. Sehingga pasal aturan hukum dipandang
dari segi substansinya yang berisi tafsir baru yang bermakna. Misal dalam
putusan pengadilan yang menyangkut lingkungan hidup ada beberapa putusan yang
dalam legal reasoning dan amarnya berisi perlindungan bagi generasi yang
akan datang atau anak cucu yang belum lahir.
Dalam
konstelasi permasalahan hukum, dalam buku ini dijelaskan, ada dua pendekatan
yang dapat digunakan oleh peneliti; Pertama, pendekatan induktif.
Pendekatan ini menuntut peneliti untuk menemukan masalah yang ada dalam
realitas sosial atau kehidupan sehari-hari (real everyday life). Setelah
mengumpulkan data, fakta hukum dan menemukan masalah hukum lalu bisa melangkah
kepada tahapan berikutnya yaitu klasifikasi, analisis dan penemuan kaidah
hukum. Kedua, pendekatan deduktif. Pendekatan ini dimulai dari
permasalahan ide besar, nilai-nilai, konsep dasar dalam hukum. Misalnya HAM,
hak-hak dasar yang diatur dalam UUD 1945, justice beserta dengan
turunannya seperti restorative justice, transitional justice, total justice,
cosmic justice dan sejenisnya. Juga termasuk masalah tanggungjawab, karena
hak tidak bisa dipisahkan dari tanggungjawab.
Dalam upaya
menemukan nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang ada dalam kehidupan masyarakat,
peneliti hukum dituntut untuk memenuhi tiga elemen modal yaitu legal
knowledge, legal procedure, dan moral integrity. Karena bagi
seorang Artidjo, menyalakan cahaya keadilan memerlukan bahan bakar kejujuran,
keberanian, persistensi, dan keikhlasan. Dalam upaya mencapai kebenaran,
Artidjo menasehati kita para penggila dunia hukum ini, dituntut untuk mengasah
kepekaan nurani agar memenuhi capaian tertinggi. Pesan beliau dalam buku ini, do
the best, but don’t feel to be the best. Orang yang merasa paling benar
adalah orang yang perlu dikasihani karena ia sedang terjebak dalam rumahnya
sendiri dan tidak mampu melihat keindahan alam sekitar dan rumah tetangganya,
lanjut pesan Artidjo.
Artidjo
Alkostar mengemukan pandangannya secara jernih tentang hukum dalam buku ini.
Bagi dia hukum bukanlah empty container yang tidak berisi nilai-nilai kebenaran
(logis), keadilan (etis), dan keindahan (estetis). Semestinya hukum dalam
dirinya mengandung sistem nilai atau ideologi hukum, sehingga dipertanyakan
keberadaan hukum, jika dalam masyarakat terjadi social clash, death of
justice, dan the death of common sense. Sebab keberadaan hukum yang
bersukma keadilan dan berwatak kebenaran, dalam eksistensinya akan memberikan
kecerahan sosial memandu perjalanan peradaban bangsa, karena memberi keindahan
rasional (akliah), keindahan rokhaniah (irfani), dan keindahan transendental (Ilahiah).
Lebih lanjut, menurut Artidjo, tidak ada negara yang maju dan beradab tanpa
adanya hukum yang berwibawa dan pengadilannya yang berintegritas.
Keadilan
merupakan kebutuhan pokok rokhaniah dalam tata hubungan masyarakat. Keadilan
merupakan bagian dan struktur rokhaniah suatu masyarakat. Suatu masyarakat
memiliki gambaran tentang mana yang patut dan tidak patut, mana yang benar dan
yang salah, kendatipun dalam masyarakat tersebut tidak ada undang-undang
tertulisnya. Di Indonesia putusan pengadilan wajib mencantumkan irah-irah Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini menunjukkan bahwa
penegakan hukum di Indonesia memiliki dimensi ilahiah. Montesquieu dalam The
Spirit of Laws mengakui adanya dimensi bathin dalam hukum. Artinya,
keadilan harus dimaknai sebagai hal yang ada dalam metanorm atau di
latar belakang norma.
Setelah
menjelaskan perihal sistem pembuktian yang dikutip dari pendapat Prof.
Moeljatno seperti; positief wettelijk, conviction-intime, negatief
wettelijk, dan conviction rasionnee. Lalu, menjelaskan dimensi
kebenaran dalam putusan pengadilan yang berisi tentang teori-teori kebenaran. Kemudian
buku Metode Penelitian Hukum Profetik ini memberikan uraian tentang
tujuan putusan pengadilan, diantaranya:
1)
Harus
merupakan solusi autoritatif;
2)
Harus
mengandung efisiensi;
3)
Harus
sesuai dengan tujuan undang-undang;
4)
Harus
mengandung aspek stabilitas; dan
5)
Harus
ada fairness.
Artidjo
Alkostar juga mencoba mengajak para pembaca buku untuk memahami beda antara
teori hukum murni dan hukum yang bermuatan nilai-nilai. Bagi Artidjo, teori
hukum murni penegakan hukum ada pada kepastian hukum, bukan dari pertimbangan
lain seperti keadilan, politis, sosial, ekonomi. Sehingga segala
kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam hukum tidak boleh dibuka demi kepastian
hukum. Artinya, selama tidak ada hukum tertulis mengatur suatu tindakan
dan/perbuatan formiil maka tidak boleh dilakukan. Hukum harus bersih dari
unsur-unsur non-yuridis. Dalam teori hukum murni sumber utama dalam memutus
perkara adalah hukum dan tidak berdasarkan kebijaksanaan. Sementara hukum yang
bermuatan nilai-nilai, setelah membaca penjelasan dan contoh kasus yang
ditulis, dapat diartikan memberi peluang bagi penegak hukum untuk menggali dan
melakukan kemungkinan-kemungkinan atas dasar keadilan, kebermanfataan dan
sejenisnya secara patut, logis dan ilmiah.
Ketika
berbicara perihal putusan pengadilan yang berkualitas, menurut Atidjo Alkostar,
menuntut adanya perpaduan antara knowledge dengan wisdom yang hal
itu ada dalam energi mental, energi emosional, dan energi spiritual. Energi
mental menyentuh akal sehingga lahir “saya berpikir”. Energi emosional
menyentuh perasaan sehingga lahir “saya merasakan”. Dan energi spiritual
menyentuh keyakinan sehingga lahir “saya meyakini”. Untuk itu, dalam putusan
pengadilan biasanya didasari oleh pernyataan terbukti secara sah dan
meyakinkan.
Buku ini juga
menjelaskan posisi Terdakwa/Penasehat Hukum, Jaksa dan Hakim. Posisi Terdakwa/Penasehat
Hukum, pandangannya subyektif dari posisi yang subyektif. Jaksa, pandangannya
subyektif karena mendakwa pihak lain dari posisi yang obyektif karena mewakili
kepentingan negara, masyarakat, stakeholder. Hakim, pandangannya obyektif
dari posisi yang obyektif. Kemudian, ada empat dimensi bahasa putusan
pengadilan menurut Artidjo Alkostar, diantaranya:
1)
Harus
dapat mengungkapkan dengan bahasa tertentu sehingga dapat dipahami (dimensi
komprehensif);
2)
Harus
merujuk kepada obyek sengketa (dimensi kebenaran/ nilai logis);
3)
Harus
jujur dengan apa yang diungkapkan (dimensi truthfulness/ sesuai hati
nuraninya); dan
4)
Harus
ada relasi dengan aturan yang berlaku, baik norma moral atau estetis (dimensi rightness/
nilai etis dan nilai estetis).
Pada
pembahasan-pembahasan selanjutnya dari buku ini lebih banyak menjelaskan
tentang teori-teori pendukung dalam atau pada saat melakukan penelitian hukum.
Teori itu mulai dari perbedaan sistem hukum civil law dan common law,
doctrine precedent, doktrin tentang surat dakwaan, pemidanaan, HAM,
teori keadilan restoratif, syarat mediasi, dan dasar kewenangan untuk
menjatuhkan pidana. Selain teori, juga terdapat beberapa pembahasan mengenai
gambaran persoalan hukum yang dapat dijadikan topik penelitian seperti;
interaksi hukum lokal (Perda) dan nasional, interaksi hukum nasional dan hukum
adat, interaksi hukum nasional dan hukum internasional, ekstradisi, Local
Rule of Law, Huma Trafficking, Corporate Crime, Corporate
Responsibility, masalah Migas, dan Pencucian Uang.
Pada bagian
akhir, buku ini ditutup dengan penjelasan mengenai sumber penelitian, yaitu
sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer atau Primary Authority merupakan
perangkat aturan yang ditetapkan dan diberlakukan oleh negara atau badan yang
memiliki otoritas. Contoh bahan hukum primer yakni konstitusi, undang-undang,
putusan pengadilan. Intinya, peraturan-peraturan yang memiliki kekuatan hukum
atau mandatory. Lalu, bahan sekunder atau secondary materials yaitu
bahan penelitian hukum yang tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak dibuat oleh
pihak yang memiliki otoritas kekuasaan seperti perjanjian, jurnal hukum atau law
reviews, ensiklopedi hukum, buku-buku dan lainnya.
Dalam buku Metode
Penelitian Hukum Profetik ini, Artidjo menjelaskan bahwa dalam perspektif
profetik, proses penelitian merupakan proses berpikir mencari kebenaran yang
merupakan bagian dari amal ibadah. Etos penelitian profetik adalah mencari
hubungan sebab-akibat yang otentik, sehingga ditemukan perbedaan atau persamaan
antara dugaan atau asumsi atau hipotesis dengan kebenaran senyatanya, hakikat
yang sebenarnya, atau kebenaran hakiki. Pada dasarnya penelitian hukum yang
bersifat deskriptif dimulai dari; 1) menemukan dan merumuskan masalah, 2)
menentukan topik penelitian, 3) mengumpulkan fakta atau bahan penelitian, 4)
menganalisis atau menginterpretasi, dan 5) menyimpulkan hasil penelitian dan
memberikan saran. Dalam konteks pembelajaran akademik, penelitian hukum Strata
1 ditekankan pada kemampuan mendeskripsikan norma hukum tertentu dan
undang-undang terkait terhadap masalah hukum sesuai dengan tema pokok
penelitian. Berbeda dengan penelitian hukum Strata 1, penelitian hukum Strata 2
tidak sekedar berada dalam ranah norma hukum, tetapi meningkat ke dalam ranah
asas hukum dan perbandingan substansial hukum. Sementara penelitian hukum
Strata 3 sudah berada dalam tataran telaah nilai-nilai dan dapat menelurkan
temuan baru.
Nah,
demikianlah lebih kurang isi dari buku Metode Penelitian Hukum Profetik.
Dengan membaca buku ini, kita bisa membayangkan struktur dan dalamnya cara
berpikir seorang Hakim Agung bernama Artidjo Alkostar itu. Ia bukanlah Hakim
Agung kaleng-kaleng yang memutus perkara dengan dasar hukum dan pertimbangan
hukum yang dangkal. Buktinya, ia mampu menjelaskan dirinya sendiri dalam buku
ini bahwa selain aspek kepastian hukum, ada pula aspek kerohanian dan
kesosialan yang saling kait-mengait antara satu dengan yang lainnya dalam
pribadi seorang Artidjo.
Dibalik
kehebatan buku ini bukan berarti tidak terdapat cela untuk dikritik. Bagi saya
mungkin kritik subtansial belumlah lagi patut, mengingat keterpautan jarak kapasitas keilmuan
saya dengan penulis bak sumur bor dan langit ketujuh. Tapi untuk
hal-hal formiil-esensial kiranya patut-patut saja. Maksud saya, buku ini masih
terlalu banyak typo dan bahkan penerbitannya terkesan “kejar tayang”
sehingga editing dan layout tidak terlalu rapi. Mungkin hal ini
akan agak “menyulitkan” beberapa pembaca dalam usaha memahami tiap-tiap
penjelasann dan alur berpikir buku perihal apa yang dimaksud oleh penulis
dengan Hukum Profetik.
0 comments