ilustrasi gambar: udaipurtimes.com
Oleh: MHD. Zakiul Fikri
Dengan demikian bisa dikatakan orang yang beragama adalah lemah jiwanya karena dia tidak berani menghadapi tantangan hidup dan ingin hidup kembali seperti dalam perut ibunya. Jadi, Tuhan muncul karena kekecewaan dan ketidakberdayaan. Hal ini, menurut Freud, adalah gejala sakit jiwa.Sebuah Fenomena
Anda mungkin
pernah mendengar atau membaca pertanyaan seperti, “Mengapa kalian harus
sholat?” atau “Mengapa kalian harus beribadah?” Bahkan, ada pula yang lebih
nakal, “Mengapa harus bertuhan?” Kadang, pertanyaan itu disertai dengan
pernyataan, “Tuhan hanyalah kreasi orang-orang lemah yang memerlukan sandaran
kuat.” Bagi pribadi-pribadi yang popullum, ungkapan-ungkapan ini
dibenarkan begitu saja, tanpa sempat suudzon terlebih dahulu. Padahal, jika
ditelaah dengan benar lontaran kata-kata kritis itu ditujukan, setidaknya,
untuk dua hal.
Dua hal yang
dimaksud, jika bisa dijelaskan, adalah sebagai berikut; pertama, orang bertanya
atau pun mengucapkan kalimat yang ‘menggugat’ lantaran keraguan terhadap
eksistensi Tuhan. Bagi penganut skeptis ini, antara Tuhan dan manusia tidak
ditemukan adanya keterpautan realitas yang logis. Dan kedua, sebab Tuhan sudah
diragukan keberadaannya maka eksistensi sisa dari keraguan itu bisa dilawan
atau, pahit-pahitnya, dihilangkan.
Fenomena sikap
skeptis terhadap eksistensi Tuhan meski sudah ‘kuno’, tapi tetap saja menarik
untuk diperbincangkan. Salah satu sebabnya, karena para pelaku berasal dari
berbagai kalangan. Mulai dari akademisi di tengah lingkungan kampus yang
katanya modern, hingga orang awam di pelosok pedesaan. Agar lebih gamblang,
jenis dan karakter pelaku skeptis ini. Sebut saja, misal, salah satunya pemikir
abad 21 yang terkenal di kalangan sejarawan. Namanya kesohor di berbagai
penjuru negara, Yuval Noah Harari. Dalam bukunya Homo Deus: A Brief History
of Tomorrow, Yuval dengan percaya diri melontarkan keangkuhan
intelektualnya dengan menyanjung potensi manusia. Menurutnya, manusia dapat
menggantikan Tuhan sekalipun di dunia ini.
Lewat Homo
Deus, Guru Besar Sejarah berkebangsaan Israel itu mengatakan, “Our
future economy, society, and politics will be shaped by the attempt to overcome
death.”[1]
Mengapa Yuval begitu yakin kehidupan hari esok dapat ditentukan lewat percobaan
mengatasi kematian? Ungkapan yang kemudian dijadikan landasan argumentasi untuk
‘membunuh’ kuasa Tuhan di dunia olehnya. Pernyataan dia tidak lepas dari
kepercayaan bahwa daya intelektual yang ada pada manusia dianggap dapat
mengendalikan kehidupan, sesuai kehendak manusia.
Tumpuan intelektual
sejatinya berada pada otak manusia. Jika memang demikian arah pembicaraan
Yuval, maka senafaslah ia dengan pemikir lainnya, yakni Michio Kaku. Michio,
seorang fisikawan keturunan Asia Timur berkebangsaan Amerika Serikat. Beberapa
karyanya cukup dikagumi oleh berbagai kalangan dewasa ini. Salah satu
ungkapannya yang terkenal, “Brain is power being God.”[2]
Otak adalah kekuatan untuk menjadi Tuhan! Demikian ungkap Michio dalam
bukunya. Ungkapan itu, menurutnya, berdasar pada hasil riset ilmiah yang
dilakukan selama satu dekade terakhir.
Dua pemikir
abad 21 di atas adalah sederet contoh orang-orang sombong yang meragukan
superioritas eksistensi Tuhan. Mereka mengagungkan daya intelektual otak semata
untuk mengklaim superioritas manusia. Jika ditanya kepada mereka, “Lantas,
darimana otak yang dianggap tumpuan sumber intelektual bermula?” Mungkin mereka
akan berkilah asal otak dari partikel-partikel hidup yang terus berkembang,
menyempurna, sehingga jadilah seperti otak sekarang pada umumnya. Alasan
klasik, ujung-ujungnya bersandar pada teori evolusi yang dicetuskan Darwin di
akhir abad 19 silam.
Itulah contoh
orang-orang yang dibesarkan oleh laboratorium kampus, yang lagi-lagi, katanya
modern. Selain pemikir modern dari dunia kampus, di persimpangan kedai Ciok
Yarli yang terdapat di pelosok desa tidak sedikit pula para munafiqun
alay. Mereka sok ikut menggugat superioritas eksistensi Tuhan.
Misal, ungkapan, “Aku adik-beradik dengan Tuhan!” atau “Perbedaan umurku hanya
tujuh hari dengan Tuhan!” adalah sepenggal ungkapan sinis yang merendahkan
Tuhan oleh orang-orang kampung. Padahal, kebanyakan dari mereka pengidap buta
literasi.
Di balik semua
fenomena itu, tahukah kalian? Sesungguhnya keraguan akan konsep Tuhan sebagai
suatu realitas eksistensi bukanlah hal
baru dalam sejarah pemikiran manusia. Dalam arti lain, perangai yang meragukan
unsur transendental itu sudah ada semenjak dahulu. Ditambah lagi kini maraknya
kehadiran teknologi, yang katakanlah canggih. Orang-orang semakin yakin, baik
sadar atau pun tidak, bahwa Tuhan bukanlah apa-apa dalam hidup ini. Bahkan,
bisa jadi Tuhan itu tidak ada (?)
Dari Nietzsche hingga Freudianisme
Pada tahun 1844
lalu, di German, lahir seorang anak laki-laki yang diberi nama Friedrich
Wilhelm Nietzsche. Nietzsche kemudian hari terkenal sebagai pemikir fenomenal.
Kata-katanya banyak menggugah otak manusia untuk berpikir ‘nakal’. Salah satu
dari karyanya yang terkenal, Thus Spoke Zarathustra. Ia berkata lantang
dalam buku itu, “Well! Take heart! Ye higher men! Now only travail the
mountain of the human future. God hath deid and now do we desire, the superman
to live.[3]
Tengoklah,
betapa angkuh pernyataan Nietzsche itu. Ia berujar tiba masanya bagi seonggok
manusia dengan kecakapan intelektualnya, yang disebut sebagai ubermensche atau
superman, tampil dalam kehidupan bak Tuhan. Para superman
ini, menurutnya, bebas berbuat berdasarkan kehendak birahi mereka. Sebab dalam
alam pikir mereka Tuhan telah mati. Apa sebenarnya yang dimaksud Nietzsche
dengan Zarathustra atau Tuhan telah mati itu? Lalu, siapa pula mereka
yang disebut ubermensche?
Membaca Thus
Spoke Zarathustra seperti menemukan sosok Michio Kaku di zaman dahulu,
namanya masih Nietzsche. Ia mengemukakan gagasan pemikiran yang bertumpu pada
otak dalam memproduksi kekuatan. Dengan kekuatan itu, ditenggarai, manusia
menciptakan dan mencapai prestasi-prestasi bagai Tuhan dalam kehidupan dunia.
Bagi orang-orang, seperti digambarkan Nietzsche dan Michio, Tuhan sebagai
konsep dan tuntunan hidup tidak lagi berarti. Sebab manusia, tepatnya para ubermensche,
dipercaya sudah bisa memproduksi sendiri sumber materiil dan nilai hidupnya
sendiri. Sehingga Tuhan yang transendensi, yang dalam ajaran Teologi dipercaya
sebagai asal segala materiil dan nilai, dianggap tidak lagi berguna.
Pada dekade yang
bersamaan, tahun 1856 lahir seorang pemikir lain berkebangsaan Austria bernama
Sigmund Freud. Sosok yang kemudian wafat tahun 1939 ini dikenal sebagai Bapak
Psikoanalisis dalam dunia psikologi. Para murid ideloginya menyebut diri
Freudian yang menganut paham Freudianisme. Freud dalam tiga karyanya; Totem
and Taboo, The Future an Illusion, dan Moses and
Monotheism, berujar banyak hal tentang konstelasi Tuhan dan manusia. Manusia,
menurut Freud, pada hakikatnya merasa aman di kandungan ibunya (paradise).
Setelah ia lahir, mulai merasakan kenyamanan tadi hilang (lost of paradise)
sehingga ia mulai terasing dan terpisah dari dunia yang nyaman. Dari sini
muncul konflik dalam dirinya yaitu keinginan untuk hidup nyaman dan
ketidakberdayaan untuk kembali pada dunia yang nyaman tersebut. Kemudian muncul
kebimbangan (insecure).[4]
Kebimbangan itu
lalu mencari tempat yang aman, yaitu agama. Agamalah yang memberi alternatif
untuknya. Dalam arti lain, orang yang beragama sama dengan orang yang putus asa
dan lari dari kenyataan untuk mencari perlindungan sebagaimana dia dalam
kandungan. Dengan demikian bisa dikatakan orang yang beragama adalah lemah
jiwanya karena dia tidak berani menghadapi tantangan hidup dan ingin hidup
kembali seperti dalam perut ibunya. Jadi, Tuhan muncul karena kekecewaan dan
ketidakberdayaan. Hal ini, menurut Freud, adalah gejala sakit jiwa.[5]
Celoteh al-Qur’an tentang Konstelasi Tuhan dan Manusia
Baik Nietzsche,
Yuval dan Michio memiliki corak yang sama dalam kesimpulannya tentang hubungan
Tuhan dan Manusia. Mereka bertumpu pada kemampuan otak memproduksi dan berbuat
sesuatu. Sementara Freud bertitik tolak pada kecakapan jiwa. Namun, empat orang
pemikir itu memiliki konklusi yang hampir dapat disamakan, yakni sama-sama ragu
akan eksistensi superioritas Tuhan serta hubungannya dengan manusia. Maka,
mereka layak disebut para atheis berdasi.
Orang-orang
yang tak perlu argumentasi dan basa-basi orasi di kampung juga layak disebut
atheis. Mereka yang sok jago melawan kekuatan pikiran Tuhan. Mereka
yang sombong dengan dirinya sendiri, serta sok ikut meragukan
superioritas transendensi. Mereka sejatinya sama saja dengam empat pemikir
barat tadi, sama-sama atheis. Hanya saja, satu kelompok terdiri dari para
atheis perkotaan. Sedang mereka, para kampungers, boleh disebut atheis ndeso.
Dalam dunia
pemikiran Islam, hubungan antara Tuhan dan Manusia sudah dibicarakan dengan elok
lewat al-Qur'an. Kata-kata al-Qur'an itu dapat diartikan secara folosofis atau
pun mekanis. Sayangnya, tidak semua orang mau mempelajari, khususnya dari
kalangan penganut kepercayaan terhadap kitab itu sendiri. Mempelajarinya saja
banyak yang enggan, apalagi memahami. Sehingga yang terproduksi ialah cara
pikir yang meragukan keilmiahan ilahi seperti pemikir atheis barat lainnya.
Al-Qur'an
mengisahkan hubungan logis antara Tuhan dan manusia. Ia (baca: al-Qur'an)
berkisah, dahulu kala Tuhan ingin mengadakan sebuah misi di suatu wilayah.
Wilayah itu yang kemudian hari dikenal dengan nama bumi. Tampaknya, ini misi ke
sekian yang hendak dilaksanakan. Sebab sebelumnya, ditenggarai penerima misi
gagal menunaikan tugas dari misi tersebut. Karena itu kemudian para abdi Tuhan
yang lain, sebut saja malaikat, tabayyun kepada Tuhan. Mereka bertanya,
'Wahai Dzat yang Maha Suci, mengapa hendak mengirim makhluk lagi untuk
menjalankan misi? Bukankah misi ini pernah gagal? Pelaksananya membuat
kerusakan dan menumpahkan darah pada saat menjalankan tugas?'[6]
Tuhan merespon
baik pertanyaan 'tangan kanannya' itu, lalu Ia berujar 'Sungguh Aku lebih paham
apa yang belum engkau pahami!'[7] Mendengar
jawaban itu, maklumlah para malaikat akan keterbatasan pengetahuan yang ada
pada mereka. Misi pun berlanjut, penerima misi ini diperuntukkan bagi para abdi
Tuhan sendiri, salah satu kandidatnya pun mungkin malaikat itu.[8] Tapi,
rupanya diantara sekian abdi yang ditawarkan kepadanya misi itu, termasuk
malaikat. Hampir-hampir semua menolak, kecuali seorang makhluk. Makhluk yang
seorang ini bersedia menjalankan misi dengan segala konsekuensinya, mereka inilah
manusia.[9]
Belajar dari
kisah yang dituliskan al-Qur’an maka ditemukanlah pemahaman mengenai hubungan
logis antara Tuhan dan Manusia. Sebelumnya, kalian tahu apa jenis misi yang
diberikan Tuhan kepada manusia itu? Ya, menjadi Khalifah! Maka dalam konteks
ini khalifah harus dimaknai sebagai jabatan kemanusiaan, amanah yang dipegang
seonggok tulang berlapis daging dan kulit bernama manusia semenjak lahir ke
dunia. Mereka, para khalifah itu adalah abdi, budak atau pelayan dari
superioritas transendensi. Lantas, apa tugas atau misi para khalifah? Yakni
menghidupkan serta mensejahterakan kehidupan bumi. Misi khalifah merupakan misi
menebarkan nilai kemanusiaan. Nilai-nilai yang harus ditransformasikan dalam
misi kemanusiaam itu mencakup; nilai ketuhanan,[10]
nilai keilmuan,[11]
nilai persaudaraan,[12] nilai
persamaan,[13]
nilai keadilan,[14]
dan nilai kemanfaatan sosial.[15]
Dimana letak
kelogisan hubungan antara Tuhan dan manusia dalam kisah misi khalifah? Ibaratnya
seorang B dari kampus A yang diutus menjadi delegasi menjalankan misi
kemanusiaan ke daerah C. Maka tugas utama B adalah menjalankan amanat yang
telah sampai kepadanya itu. Sebagai delegator, maka segala konsekuensi
berkenaan hak dan kewajiban serta sanksi atas tugasnya itu ditanggung sendiri
oleh B.[16]
Demikianlah konsekuensi penerimaan wewenang melalui jalur delegasi yang
didoktrinkan di kampus-kampus hukum. Sehingga ditemukan hubungan logis bahwa
kewenangan selaku khalifah didapat dari delegasi yang diberikan Tuhan. Dan bagi
seorang khalifah segala tanggungjawab atas tugas yang diembannya ditanggung
sendiri.[17]
Agar B
dipastikan menjalankan tugas dengan baik, dan tetap pada koridor amanah yang
diberikan kampus. Maka ada pula kewajiban rutin B untuk menyampaikan report
kepada A. Dalam konteks melapor itulah fungsi utama sholat muncul. Jadi, dapat
diartikan bahwa sesungguhnya sholat menjadi simbol penghubung komunikasi antara
Tuhan dan manusia. Ia merupakan wujud dari kesetiaan terhadap tugas yang
diberikan oleh superioritas eksistensi ilahi. Dengan demikian, dalam al-Qur'an tidak
ada lagi ruang untuk ragu terhadap eksistensi superioritas Tuhan. Sebab Dia
adalah sumber utama materi dan nilai dalam kehidupan. Dalam teroti kosmologi-kausalitas, Dialah penyebab dari segala sebab. Artinya dari-Nya segala suatu
berasal, yang pada akhirnya sesuatu itu akan kembali juga kepada-Nya.[18]
Pernyataan al-Qur'an bukanlah dongeng, sebab dapat diejawantahkan dalam bahasa
yang logis dan dibuktikan keilmiahannya. Artinya, keseluruhan penjelasan al-Qur’an
dapat dipertanggungjawabkan landasan keilmuannya.
[1] Lihat Yuval
Noah Harari, Homo Deus: A Brief History of Tomorrow.
[2] Michio Kaku, The
Future of the Mind.
[3] Lihat dalam
Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra.
[4] Sigmund Freud,
dalam Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama.
[5] Ibid.
[6] Lihat Q.S.
2:30
[7] Ibid.
[8] Lihat Q.S.
51:56
[9] Lihat Q.S.
33:72
[10] Lihat Q.S.
3:110 dan 112:1-4
[11] Lihat Q.S.
2:119, 3:190-191, dan 16:78
[12] Lihat Q.S. 4:1
dan 49: 9, 13
[13] Lihat Q.S.
4:135 dan 49:13
[14] Lihat Q.S.
4:135 dan 5:8
[15] Lihat Q.S.
21:107 dan 107:1-7
[16] Baca defenisi
delegasi menurut Hukum Administrasi Negara, salah satunya dalam Ridwan HR, Hukum
Administrasi Negara.
[17] Lihat Q.S.
17:36 dan 41:20
[18] Lihat Q.S.
2:156 dan 3:109
0 comments