Merenung Ulang Hubungan Manusia dan Hutan: Rebiew terhadap Buku "New Perspectives on People and Forests"
ilustrasi gambar: dokumentasi penulis
Oleh: MHD Zakiul Fikri
Ada benang merah yang menembus sejarah kita bersama – sejarah hutan, pohon, dan masyarakat manusia – dan itu ialah ketergantungan umat manusia kepada pohon. Karena itu, betapapun hebatnya perubahan dan perbedaan yang terjadi, semuanya bermuara pada kenyataan bahwa kita selaku manusia membutuhkan hutan dan pohon dalam kehidupan ini; baik untuk kepentingan pengembangan budaya, atau pun masyarakat.
Hal yang perlu diperhatikan lebih awal
terkait bahan review kali ini ialah bahwa buku ini merupakan bunga rampai yang
berisi kumpulan artikel dari beberapa penulis. Eva Ritter sendiri selaku editor
mengatakan bahwa gagasan pengadaan buku tersebut kali pertama muncul pada masa
berlangsungnya konferensi tentang Kebijakan Hutan dan Ekonomi di Padua, Italia
pada tahun 2005, tahun yang sama dimana kedua editor kali pertama bertemu. Tampaknya
ketiadaan pembicara yang berlatar antropologi, sehingga konferensi Kebijakan
Hutan dan Ekonomi di Padua itu kurang membicarakan aspek manusianya. Hal ini
diungkapkan sendiri oleh editor pada bagian pembuka buku. Oleh karena itu pula,
kemudian muncul pemikiran yang agak lebih radikal, yang mencoba menelisik lebih
dalam persoalan hutan dan manusia. Misal, Eva Ritter mengajukan pertanyaan, “Dapatkah
angka-angka menerangkan dengan sesungguhnya segala sesuatu perihal hubungan
manusia dan hutan, dan dapatkah kebijakan hutan membantu kita menyadari bahwa
sejatinya kita bergantung kepada hutan?”
Pikiran-pikiran radikal itu kemudian
mendorong Eva, dan mungkin juga bersama kawan-kawannya, untuk melihat kembali
hingga ke akar masyarakat, evolusi budaya serta peran yang dimainkan oleh hutan
dan pohon dalam kehidupan manusia di sepanjang sejarah. Bersama dengan
rekan-rekannya, lewat buku ini Eva Ritter mencoba menggali kembali nilai-nilai
klasik atau pun kuno yang mungkin telah menjadi bagian bawah sadar setiap
manusia tetapi masih banyak mempengaruhi hubungan manusia dengan hutan dan
lanskap tempat mereka tumbuh. Buku ini berisi berbagai sudut pandang keilmuan
termasuk dari bidang selain kehutanan, yang menurut klaim editornya merupakan
usaha agar dapat memberikan penerangan yang berbeda terhadap hubungan manusia
dan hutan.
Sukar untuk dipungkiri bahwa antara manusia dan hutan terjalin
hubungan yang sangat terikat. Kayu, yang merupakan bagian dari hutan, adalah
salah satu sumber daya tertua yang telah digunakan manusia. Karena itu pula,
mungkin, kapak menjadi alat ergonomis pertama yang digunakan manusia penggunaannya diperkirakan telah ada
sejak sekitar 400.000 tahun lalu. Pembahasan mengenai hubungan manusia dengan
hutan menuntun kita untuk menemukan defenisi-defenisinya terlebih dahulu. Dalam
istilah Bahasa Inggris, kata forest telah digunakan secara umum sejak
akhir abad XIII. Kata tersebut berasal dari bahasa Latin forestare, dan
dapat diterjemahkan sebagai alien; asing, atau tetap di luar;
dikecualikan. Terjemahan yang demikian menunjukkan pada persepsi sejatinya
hutan merupakan tempat yang terpisah, kurang peradaban, jauh dari kehidupan
orang lain umumnya. Ketika makna itu digabungkan bersamaan dengan fenomena laju
peningkatan proses deforestasi di Inggris. Hal ini dapat membuat kita memahami,
bahwa kata forest atau forestare tidak ditekankan pada anggapan
bahwa hutan mengandung orang asing tetapi sebaliknya mengasumsikan bahwa ini
adalah tempat untuk dikecualikan. Karena itu pula, kata tersebut menunjukkan
bahwa hutan adalah tempat yang sejatinya bukan milik manusia.
Saat ini, definisi universal hutan tidak ada. Kita memiliki kata
yang berbeda-beda untuk menggambarkan hutan sesuai dengan ukurannya, spesies,
lokasi, peruntukan, dll. Dua definisi yang dikutip berikut ini menunjukkan
beberaoa kemungkinan perspektif; 1) dari Universitas Princeton, Hutan ialah
pohon-pohon dan tanaman lain di daerah yang berkayu lebat; Tanah yang tertutup
pepohonan dan semak belukar; dan 2) Dari Departemen Sumber Daya Alam Lowa,
hutan ialah suatu ekosistem, sekumpulan tumbuhan dan hewan. Pohon merupakan
fitur dominannya. Mereka memberikan banyak manfaat terhadap hutan seperti
keberlangsungan hidup habitat, kualitas air, rekreasi, perbaikan iklim, dan
produk kayu. Tumbuhan dan hewan yang membentuk hutan saling bergantung dan
integrasi di antara keduanya sangatlah penting. Berdasarkan pada definisi
yang telah disebutkan, tampak jelas bahwa manusia tidak dimasukkan sebagai
bagian dari hutan.
Akantetapi, keberadaan hutan diperlukan untuk kelangsungan hidup
spesies manusia. Setidaknya kita dapat menggambarkan ada dua manfaat hutan untuk
kehidupan manusia: 1) melindungi dan 2) produktif. Perlindungan ini mengacu
pada semua jenis manfaat kebaikan yang dapat diperoleh manusia dari ekosistem
yang bernama hutan. Sementara, produktif mengacu pada semua sumber daya yang
bisa manusia dapatkan darinya – sekitar 2% Produk Domestik Bruto dunia berasal
dari produk kayu. Penting juga untuk menekankan peran psikologisnya – bahwa
ikatan yang menghubungkan manusia dengan alam sangat kuat. Menggambarkan bumi
sebagai tempat tanpa hutan, bagaikan masa depan yang suram.
Di masa lalu, hutan dikaitkan dengan keamanan. Ia menyediakan kayu
yang mungkin digunakan untuk bahan bakar. Hutan juga kaya dengan lokasi bermain
yang asyik dan tanaman yang bisa dimakan. Selanjutnya, setiap barang yang
tersisa mungkin kemudian dijual atau dibarter. Bahkan ada orang-orang yang
hidup di hutan sebagai jalan alternatif untuk bertahan hidup dari kapitalisme
pertanian. Selain itu, hutan mungkin juga dapat dilihat sebagai sumber
ketakutan dan bahaya. Salah satu faktor utama adalah adanya predator liar. Hal
demikian terbukti, terutama bagi mereka yang tinggal di kawasan yang berdekatan
dengan hutan. Seringkali hewan-hewan berkeliran mencari makanan di luar,
merusak tanaman dan mengancam kehidupan manusia. Masalah lain adalah kehadiran
bandit atau penjahat dan terkadang menjadikan hutan sebagai tempat
persembunyian. Keluasan dan misteri yang ada pada kawasan hutan membangun
imajinasi manusia sehingga menghasilkan banyak takhyul – legenda, mitos, dan
dongeng.
Pohon lewat bentuk, warna dan suara, menyediakan lingkungan sensual
yang dinamis serta menarik untuk dijadikan tempat tinggal. Sementara itu,
keberadaan pohon-pohon besar cenderung dianggap sebagai sesuatu yang menonjol
yang dapat memberikan petunjuk-petunjuk serta sering dikaitkan dengan berbagai
ingatan. Ukuran dan usia tua suatu pohon yang mengesankan membuat orang
mengagumi dan menghormatinya. Pohon ditenggarai mewujudkan perjalanan waktu,
sehingga orang-orang mengasosiasikannya dengan proses pembaruan siklus alami.
Contoh penting adalah Pohon Ek di Eropa, yang umumnya dikatikan dengan
eksistensi dewa petir lokal – simbol kesuburan.
Seperti yang bisa kita lihat, pohon adalah bagian yang melekat dari
budaya manusia. Barang-barang yang diperoleh dari hutan menentukan cara hidup
dan memandang sebelum manusia berevolusi menjadi homo sapiens. Kita, manusia,
harus memastikan bahwa eksploitasi terhadap alam tidak akan merusak
koeksistensi kita bersama. Konsekuensi dari tindakan semacam ini mungkin sulit
untuk diprediksi, tetapi tentunya itu adalah jalan yang dapat menghancurkan
keseimbangan alami kita.
Manakala menguraikan pembahasan perihal Tree Use and Landscape
Change-Development of a Woodland Area in Sweden, Aronsson dan Eva
mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari umat manusia kehadiran lanskap hutan
sangatlah erat kaitannya dengan nilai manfaatnya. Nilai tersebut terus
mengalami perubahan seiring perubahan penggunaan lahan, teknologi, dan gaya
hidup masyarakat. Objek pembahasan Aronsson dan Eva ialah daerah hutan yang
berada di Swedia Tenggara, yang disebutnya sebagai Brabygden. Mereka menemukan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan lanskap Brabygden sering kali
erat kaitannya dengan aktivitas manusia, seperti; 1) Pengembalaan Ternak, 2)
Kebakaran Hutan dan Kebiasaan “Tebang, lalu Bakar”, 3) Penyulingan Damar dan
Produksi Arang, 4) Pemanenan Daun untuk Pakan Ternak, dan 5) Pertumbuhan
Populasi.
Di sepanjang bab-bab berbeda dari buku ini, keragaman hubungan
masyarakat dengan hutan diilustrasikan dalam berbagai cara. Keragaman ini dapat
dilihat mulai dari tingkat pengalaman dan persepsi lanskap hutan, dalam arti
tempat dan kepemilikan, sehubungan dengan penggunaan dan pengaturan hukum
sumber daya hutan serta peran hutan dalam pemahaman diri kita sendiri selaku
manusia. Para penulis buku mencoba mengarahkan pembaca untuk menyadari bahwa hutan
memengaruhi manusia dan kehidupan ini lewat kehadirannya, materialitasnya, dan
sifat fisiknya. Tidak hanya itu, manusia juga terhubung melalui ikatan
emosional, spiritual, dan reaksi yang dalam terhadap hutan dan pohon.
Dua hal penting yang coba diurai dalam buku ini, yakni; Pertama,
perubahan sikap dan kondisi hubungan antara manusia dengan hutan yang terjadi
sepanjang waktu. Dan Kedua, kontradiksi yang ditemukan dalam konfigurasi
nilai-nilai berbeda dari hutan. Dua hal ini menurut Eva Ritter dan Dainis
Dauksta harus dipertimbangkan sebab kehidupan masyarakat dan keberadaan hutan
dalam suatu lanskap ditandai dengan adanya saling ketergantungan. Karena itu
pula, pengembangan satu sisi di antara keduanya akan diikuti oleh perubahan dan
adaptasi yang lain.
Terkait kontradiksi nilai, sesungguhnya kontradiksi nilai-nilai ini
berakar dari pemahaman tentang hutan yang dianggap membawa nilai-nilai negatif
dan positif. Hutan dianggap sebagai suatu hal yang bernilai tidak beradab,
sifat liar, limbah; simbol kekacauan, anarki, kejahatan dan tempat paganisme.
Mereka dianggap sebagai kebalikan dari lahan pertanian produktif dan kota yang
aman dan berperadaban; mewakili yang baik, tertib, perencanaan rasional dan
tempat agamis atau religius. Dalam konteks hunian pun dicontohkan, misal Romawi
dianggap lebih beradab, karena mereka yang memiliki sedikit tutupan hutan
berbeda dengan negara-negara berhutan, misalnya Jerman, yang dianggap dihuni
oleh orang-orang biadab.
Gagasan umum yang membagi dunia menjadi subyek hutan dan non-hutan
harus dianggap tidak sesuai dengan deskripsi dan pemahaman terhadap hubungan
manusia-hutan. Alih-alih berbicara tentang nilai-nilai yang bertentangan,
tampaknya jauh lebih masuk akal untuk berbicara tentang nilai-nilai yang saling
melengkapi, yang terkait erat dengan banyak sisi kehidupan manusia. Oleh karena
itu setiap pendekatan mengenai masyarakat dan budaya manusia sebagai suatu hal terpisah
dari hutan harus dikaji ulang. Di titik ini, kata Eva dan Dainis, diperlukan
epistemologi baru; sebuah "filsafat hutan".
Ada benang merah yang menembus sejarah kita bersama – sejarah
hutan, pohon, dan masyarakat manusia – dan itu ialah ketergantungan umat
manusia kepada pohon. Karena itu, betapapun hebatnya perubahan dan perbedaan
yang terjadi, semuanya bermuara pada kenyataan bahwa kita selaku manusia
membutuhkan hutan dan pohon dalam kehidupan ini; baik untuk kepentingan
pengembangan budaya, atau pun masyarakat.
Catatan terhadap buku ini, selain karena ditulis oleh banyak
penulis dengan berbagai latar dan perspektif yang berbeda-beda. Tampaknya,
uruain penulisan dalam buku ini juga terlalu dilematis karena di satu sisi
ingin hutan terjaga, terawat dan telestarikan. Namun, di sisi lain juga
mengamini perkembangan umat manusia lewat pemanfaatan sumber daya hutan. Dan di
sinilah pemaparan para penulis menjadi kurang lengkap. Untuk itu pula, sebagai
pelengkap dari kekurangan tersebut, maka para penulis perlu menjawab pertanyaan
bagaimana seharusnya pemanfaatan terhadap hutan dilakukan dengan baik agar ia
tidak mengurangi baku mutu hutan itu sendiri untuk dinikmati oleh generasi
manusia hari ini dan generasi manusia yang akan datang? Karena bagaimana pun
juga setiap pemanfaatan yang dilakukan akan berdampak pada berkurangnya
kapasitas hutan, atau setidaknya tidak akan lagi tumbuh jenis dan kualitas yang
sama, untuk generasi ini dan generasi manusia akan datang.
1 comments
mantap ini om, terjemahin dong
ReplyDelete