De Indonesiër en Zijn Grond, Marjinalisasi Struktural Masyarakat Hukum Adat
Oleh:
MHD. Zakiul Fikri
"...pernyataan domein tidaklah sekali-kali boleh dianggap sebagai suatu pernyataan atas eigendom pemerintah semata-mata. Karena jika ditafsirkan secara jujur, maka unsur yang terdalam dari penyataan domein itu tidak lain ialah suatu hak untuk membuat peraturan-peraturan (zeggenschap) atau hak untuk memerintah (modezeggenschap). Artinya, ... bahwa tidaklah perlu pemerintah bertindak sebagai pemilik, tetapi hendaknya ia terutama bertindak sebagai pembentuk undang-undang, sebagai pelaksana kekuasaan."
Cornelis
van Vollenhoven telah meninggal tahun 1933 lalu. Namun, bagaimanapun juga sikap
seorang akademisi Belanda ini dalam menyuarakan ‘derita’ rakyat pribumi
Indonesia semasa hidupnya akan selalu dikenang, khususnya dalam kajian sejarah
perkembangan hukum adat dan pertanahan di Indonesia. De Indonesiër en Zijn Grond atau Orang Indonesia dan Tanahnya [pdf] yang merupakan pamflet akademik terhadap draft perubahan Regeeringsreglement 1854 (Konstitusi
Hindia Belanda) yang diajukan pada 29 Mei 1918 akan selalu dikenang sebagai
catatan ilmiah yang berarti bagi masyarakat Indonesia. Materi pandangan umum
itu lebih banyak memuat kritik Vollenhoven terhadap pelanggaran hak dan
ketakadilan yang dialami masyarakat pribumi (Indonesia) akibat pelaksanaan
hukum agraria yang secara sistematis mengekang hak-hak penguasaan rakyat atas
wilayah adatnya.
Vollenhoven
melihat bahwa pelanggaran-pelanggaran hak masyarakat pribumi ini terjadi karena
ada persoalan paradigma yang membedakan antara orang pribumi Indonesia dengan
Barat. Hak-hak dan hukum-hukum atas tanah yang berlaku di Indonesia dianggap
jauh berbeda dengan apa yang berlaku di Belanda. Contoh, di Belanda jika ada
seorang pemburu yang berhasil menembak hewan buruan, menurut hukum ia akan
memperoleh hak eigendom (hak milik)
atas hewan buruan itu. Hal berbeda untuk Indonesia, jika seorang Indonesia
menggunakan hak membuka tanah, maka ia memperoleh suatu hak yang disebut genotrech (hak mengambil manfaat), hak
yang pada umumnya dapat diperolah untuk sifat pembukaan lahan yang sementara.
Bisa pula ia mendapat hak inlandsch
bezitrecht (hak milik pribumi) untuk pembukaan lahan yang sifatnya tetap.
Atau dapat pula memperoleh apa yang disebut bouwrecht
atau bewerkingsrecht (hak
mengusahakan), jika pembukaan tanah dilakukan di daerah-daerah swapraja.
Apakah
hukum adat orang-orang Indonesia itu mengenal groundeigendom? Tanya Vollenhoven. Jika mereka mengartikan groundeigendom itu sebagai suatu hak
atas sebidang tanah yang dikerjakan secara tetap, di mana seorang dapat berkata
dengan keyakinan bahwa “tanah ini adalah mutlak milikku,” maka jawaban yang
pasti ialah hampir di seluruh Hindia Belanda tidak dapat dijumpai hak semutlak
itu, karena di Indonesia harus pula mengingat batasan-batasan adat yang
diberikan oleh hukum-hukum adat. Pembatasan-pembatasan adat itu ternyata adalah
akibat dari suatu hukum yang sudah sangat tua yang meliputi seluruh Indonesia,
suatu hukum yang mulanya bersifat keagamaan, yaitu beschikkingsrecht atau hak ulayat.
“Hak
ulayat” menurut Vollenhoven tidak dapat ditemukan dalam Burgelijk Wetboek, juga tidak dapat disamakan dengan recht van heerschappij (semacam hak
pertuanan) di negara Barat. Namun, di seluruh kepulauan Indonesia hal itu
merupakan hak tertinggi atas tanah. Hak ini dimiliki oleh suatu suku (stam), atau oleh sebuah gabungan desa (dorpenbond), atau biasanya oleh sebuah
desa saja, tetapi tidak pernah dipunyai oleh seorang individu. Kapankah hak-hak
agraris orang-orang pribumi itu terus dilanggar? Tanya Vollenhoven.
Vollenhoven
juga menyoroti dalam buku ini pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh
pejabat dan pemerintah kolonial atas hak-hak masyarakat pribumi tersebut. Pertama, sejak masa Daendels yang
sewenang-sewenang telah mengambil sawah-sawah penduduk untuk digunakan sebagai
bayaran bagi bermacam-macam golongan pegawai pemerintah pribumi. Dan van den
Bosch mengulangi tindakan melanggar hukum itu untuk membayar gaji bupati-bupati
dan serdadu pribumi. Setelah Daendels, pelanggaran atas sawah-sawah milik tersebut
dijadikan suatu sistem (stelsel) yang
resmi, yaitu apa yang dinamakan landrente
(pajak tanah), yang diambil dari ide Raffles, yang biasa disebut juga landelijk stelsel.
Pelanggaran-pelanggaran
itu dianggap benar atas asumsi dasar bahwa pemerintah menganggap dirinya
sebagai eigenaar atau pemilik semua
tanah di Hindia Belanda, khususnya Jawa, dan kemudian menyewakan (verpachten) sejumlah sawah di setiap
desa kepada kepala desa yang bersangkutan. Lalu, kepala desa membagi-bagi tanah
kepada orang-orang desa dengan kewajiban membayar landrente menurut cara yang dianggap “patut dan adil”.
Kedua, setelah periode landrente, sekitar dua puluh tahun kemudian dibentuklah aturan
tanam paksa (cultuurstelsel).
Terutama hal ini terjadi pada penanaman nila secara paksa (indigo dwangcultuur) dan penanaman tebu secara paksa (suiker dwangcultuur) yang terjadi di
seluruh Jawa. Dalam pelaksanaannya, hak milik masyarakat pribumi tidak diakui,
batas-batas tanah dengan mudah dicabut. Sawah milik dengan mudah dihapus oleh
pemerintah untuk kemudian dijadikan perkebunan nila dan tebu.
Ketiga, kewajiban-kewajiban yang oleh
pemerintah hanya dibebankan kepada pemilik tanah, yaitu kewajiban “kerja
pertuanan” (heeren en cultuurdiensten)
yang secara salah dikatakan bahwa hal itu berdasarkan hukum adat. Akhirnya,
banyak pemilik tanah lebih memilih melepas tanah miliknya ketimbang memenuhi
kewajiban bekerja secara paksa dalam bentuk heerendienst
di suatu tempat yang jauh.
Vollenhoven
mengatakan bahwa setelah Regeeringsreglement
1854 disahkan, ada harapan untuk menghapus praktik pelanggaran-pelanggaran
tersebut. Pasal 75 undang-undang ini mengatur bahwa peradilan dalam soal-soal
perdata harus memperhatikan seluruh hukum adat yang berlaku di kalangan
penduduk, termasuk hukum adat atas tanah. Lalu Pasal 62 memperingatkan agar
dalam menyewakan tanah-tanah kepada orang Eropa, pemerintah memperhatikan hukum
adat atas tanah dari penduduk. Undang-undang tahun 1854 ini kemudian diperkuat
dengan keluarnya maklumat pada 1866.
Sayangnya,
kebijakan-kebijakan tersebut hanya berhasil menghapus landrente atau praktik landelijk
stelsel, cultuurstelsel, dan heeren en cultuurdiensten tetapi harapan
agar pemerintah membiarkan tanah-tanah milik pribumi berkembang secara wajar
menurut hukum adatnya ternyata tidak terjadi. Alasannya sederhana, menurut
Vollenhoven, karena pemerintah malu untuk bertindak demikian. Jika hak-hak
Indonesia seakan disamakan dengan hak-hak Barat, para pejabat kolonial menentangnya
penuh semangat. Sebaliknya, setiap kali hak-hak
tanah Indonesia tidak cocok dengan pengertian hukum Eropa, tanpa
penyelidikan terlebih dahulu, mereka mengingkarinya dengan senang hati.
Pemerintah
hanya memiliki tiga pengertian yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat adat
atau pribumi, pasca Regeeringsreglement 1854
dan maklumat 1866, yakni; ‘hak milik pribumi yang dapat diwariskan (erfelijk individueel bezit), ‘hak
komunal’ (communaal bezit), dan ‘hak
milik komunal dengan penggunaan secara bergantian (gebruiksaandelen in communaal bezit). Maka semua hal yang tidak
sesuai dengan landasan-landasan tersebut lalu dihapuskan. Padahal, dalam hukum
adat masyarakat pribumi terdapat pula apa yang disebut sebagai ‘hak ulayat’ (beschikkingsrecht), ‘hak mengambil
manfaat’ (genotrecht), ‘hak
pengutamaan’ (voorkeurrecht), dan
lainnya. Sementara, di masing-masing daerah juga memiliki model dan istilah
hukum tertentu yang tidak dapat disamakan, Vollenhoven mengatakan di Lombok
memakai Communal Bezit yang kemudian menjadi kacau. Para birokrat
menganggap tanah milik komunal bukanlah Bezitrech. Di Sumatera Barat
hak-hak Ulayat, sawah tidak dimasukan ke dalamnya. Begitu juga dengan soal-soal
pengasingan tanah dan pegadaian dengan pemerintah desa. Di Manado, Hak Ulayat
dari desa dan Hak Penguasaan (Bezitrech) sama sekali tidak dibedakan.
Semua
ketidakadilan selama ini kemudian diperparah oleh domeinverklaring (pernyataan domein) yang dideklarasikan oleh
Pemerintah Hindia Belanda untuk diberlakukan di Jawa dan Madura pada tahun
1870, dan beberapa tahun berikutnya berlaku pula di Sumatera (Staatsblad 1874), Manado (Staatsblad 1877), Kalimantan Selatan dan
Timur (Staatsblad 1888). Pernyataan
domain yang kali pertama dimuat dalam Pasal 1 Agrarisch Besluit (Staatsblad 1870 No. 118, yang kemudian diulang
dalam Staatsblad 1875) itu berbunyi “alle grond, waarop niet door anderen regt
van eigendom wordt bewezen, domein van de Staat is” (Semua tanah, yang
orang lain tidak dapat membuktikan bahwa tanah itu eigendom-nya, adalah domein [baca: milik] negara).
Dari
bunyi pernyataan Pasal 1 AB 1870 di atas, para birokrat menurut Vollenhoven
melahirkan empat tafsiran yang berpengaruh mengenai domein negara, yaitu:
·
Semua tanah, yang di atasnya tak dapat
dibuktikan adanya hak eigendom Barat
(menurut Burgelijk Wetboek);
·
Semua tanah yang di atasnya tak dapat
dibuktikan adanya hak eigendom Barat
dan hak eigendom agraris (produk tahun 1872);
·
Semua tanah yang di atasnya tak dapat
dibuktikan adanya hak eigendom Barat, hak eigendom agraris, ataupun hak
eigendom Timur (hak milik pribumi yang bebas dari batasan-batasan hukum adat);
·
Semua tanah yang di atasnya tak dapat
dibuktikan adanya hak eigendom Barat, hak eigendom agraris, hak eigendom Timur,
ataupun juga hak milik pribumi yang masih melekat pada “hak ulayat masyarakat
hukum adat.”
Upik
Djalins dan Noer Fauzi Rachman, yang memberi prolog pada edisi Bahasa Indonesia
De Indonesiër en Zijn Grond yang
diterbitkan STPN Press (2013) dan Insist Press tahun (2020), mengatakan
Penyokong utama asas domeinverklaring adalah
para sarjana hukum dari Utrech University seperti G.J. Nolst Trenité, Izak A.
Nederburgh, dan Eduard H. s'Jacob, yang mengatakan bahwa ‘tak terelakkan’ bagi
negara menjadi pemilik tanah dan seluruh sumberdaya alam dalam wilayah jajahan.
Penguasaan wilayah adat oleh masyarakat hukum adat (yang disebut beschikkingsrecht oleh Vollenhoven),
menurut mereka, harusnya menjadi hak publik dari pemerintah karena alasan
kedaulatan negara. Dalam pandangan mereka, rakyat bumi putra adalah mereka yang
menduduki, menguasai, dan memanfaatkan tanah milik negara berdasarkan hukum
adat setempat. Dengan konsep hak eigendom,
hak kepemilikan tanah mereka tidak bisa diakui dan mereka tidak berhak menjadi
pemilik tanah. Mereka hanyalah bewekers aliar
penggarap. Sementara, menurut Vollenhoven pandangan para sarjana Utrech
tersebut adalah akibat kesalahpahaman dalam mengartikan sifat Beschikkingsrecht atau hak ulayat
masyarakat adat.
Sebetulnya
bukan saja Regeeringsreglement 1854
dan maklumat 1866 yang mengakui keberadaan hak-hak masyarakat adat atas tanah
berdasarkan hukum adatnya. Undang-Undang Agraria atau Agrarische Wet 1870, tepatnya pada Pasal 2 dan 3, telah juga
menetapkan bahwa hak-hak penduduk pribumi akan dihormati. Artinya,
Undang-Undang Agraria 1870 itu mengulang kembali janji 1854 dan 1866 perihal
perlindungan atas hak-hak penduduk pribumi. Namun, sebagaimana disebut
Vollenhoven, Agrarisch Besluit 1870
memahat jaminan tersebut. Sebagai pembenaran dari tindakannya, demikian
Vollenhoven, para birokrat kolonial pada 1872 secara serampangan mengajukan
alasan bahwa yang disebut regten der
bevolking ialah hak-hak penduduk sebagaimana dimaksud Pasal 62 Regeeringsreglement 1854, tidak boleh
ditafsirkan sebagai hak-hak yang sifatnya berdaulat (souverein) karena kedaulatan (souvereiniteit)
Pemerintah Hindia Belanda tidak boleh dikurangi.
Pasal
62 Regeeringsreglement padahal
menuntut agar hak-hak penduduk pribumi atas tanah-tanah ulayat dihormati,
selama hak-hak tersebut masih nyata-nyata ada. Hanya saja, menurut Vollenhoven,
para birokrat kolonial beranggapan bahwa hak-hak orang Indonesia atas
tanah-tanah ulayatnya itu dalam kenyataannya masih tidak pasti (onvast), terus berubah (veranderlijk), palsu (verkeerd). Maka tidak ada senjata yang
lebih baik bagi mereka kecuali digunakannya istilah yang berkesan teguh (onwrikbaar), tidak berubah-ubah (onveranderlijk), dan tegas (inponeerend),
yang pada 1870 senjata tersebut menjelma dalam rupa domein negara.
Seturut
Vollenhoven sendiri pernyataan domein tidaklah sekali-kali boleh dianggap
sebagai suatu pernyataan atas eigendom
pemerintah semata-mata. Karena jika ditafsirkan secara jujur, maka unsur yang
terdalam dari penyataan domein itu tidak lain ialah suatu hak untuk membuat
peraturan-peraturan (zeggenschap)
atau hak untuk memerintah (modezeggenschap).
Artinya, Vollenhoven hendak menegaskan bahwa tidaklah perlu pemerintah
bertindak sebagai pemilik, tetapi hendaknya ia terutama bertindak sebagai
pembentuk undang-undang, sebagai pelaksana kekuasaan.
Dari
sudut pikiran orang Barat, demikian Vollenhoven, tentu saja tindakan pengabaian
terhadap hak-hak masyarakat pribumi atas tanahnya merupakan suatu tindakan yang
tidak melanggar hak, karena para pegawai pemerintahan, para hakim, Gubernur
Jenderal, serta para birokrat, semuanya bertindak menurut apa yang dikira baik
dan menguntungkan bagi Hindia Belanda. Namun, para pemilik tanah pertanian
Bangsa Indonesia–masyarakat adat–sulit untuk mengambil kesimpulan lain dari
pelanggaran yang terus-menerus atas hak-hak tanah mereka yang telah dijamin
‘hitam di atas putih’ pada kertas Lembaran Negara. Pemerintah seolah tidak
pernah berhenti berusaha untuk menyulitkan mereka. Bahkan untuk tidak
memungkinkan mereka menggunakan haknya.
Satu
catatan (garis besar, yang menjadi inti dari tindakan-tindakan pelanggaran
tersebut) yang sudah pasti jelas, bagi Vollenhoven, yakni sekali saja dalam
lembaran negara telah diundangkan bahwa tanah-tanah yang tidak dapat dibuktikan
adanya kepemilikan berdasarkan eigendom
Barat adalah domain negara, maka pelaksana undang-undang akan selalu
mengorbankan hukum adat bagi pelaksanaan asas “grondkapitaal” negara tersebut. Terakhir, dari Vollenhoven dalam De Indonesiër en Zijn Grond, ia
menegaskan pula sesungguhnya menginjak-injak hak penduduk berarti suatu tabir
kematian bagi eksploitasi tanah, yang sangat dibutuhkan bagi kemakmuran Hindia
Belanda pada masa itu (dan mungkin hingga hari ini). Sebab pertimbangan Vollenhoven
ialah bahwa tuntutan praktik pertama-tama menghendaki ketenteraman hati
penduduk, agar mereka suka membantu dengan suatu kerjasama.
0 comments