Mengapa Petani Berontak? (Catatan dari The Moral Economy of the Peasant)
Oleh : MHD Zakiul Fikri
"...tuntutan-tuntutan resiprositas dalam sudut pandang etika subsistensi tidaklah pertama-tama dinilai dari segi tingkat absolutnya, melainkan atas dasar bagaimana tuntutan-tuntutan itu dapat mempersulit atau meringankan masalah yang sedang dihadapi petani untuk tetap berada di atas tingkat krisis subsistensi."
Baik,
tulisan ini merupakan resume dari buku James C. Scott yang berjudul The Moral Economy of the Peasant: Rebellion and Subsistence in Southeast Asia [pdf]. Satu hal yang jamak terjadi dari
kebanyakan masyarakat petani yang pra-kapitalis, menurut Scott, kekhawatiran
akan mengalami kekurangan pangan telah menyebabkan timbulnya apa yang mungkin
dapat dinamakan secara tepat sebagai suatu “etika subsistensi,” yakni suatu
konsekuensi dari satu kehidupan yang begitu dekat dengan garis batas. Etika
subsistensi itu mengarahkan petani pada apa yang oleh Scott namakan sebagai
moral ekonomi petani. Apa itu moral ekonomi petani? Yaitu suatu pengertian
petani akan keadilan ekonomi dan definisi kerja petani tentang
eksploitasi–pandangan mereka tentang pungutan-pungutan terhadap hasil produksi
mana yang dapat ditolerir dan mana yang tidak dapat.
Moral
ekonomi petani, demikian Scott, muncul dari dilema ekonomi sentral yang
dihadapi oleh kebanyakan rumah tangga petani. Sebab mereka hidup begitu dekat
dengan batas subsistensi dan menjadi sasaran permainan cuaca serta
tuntutan-tuntutan dari pihak luar, maka rumah tangga petani tidak mempunyai
banyak peluang untuk menerapkan ilmu hitung keuntungan maksimal menurut ilmu
ekonomi neo-klasik. Faktor-faktor risiko mempunyai sifat menentukan bagi para
petani untuk memilih jenis tanam apa yang hendak ditanam. Peralihan dari
produksi subsistensi ke produksi komersil hampir selalu memperbesar risiko.
Tanaman subsistensi yang berhasil sedikit-banyaknya menjamin persediaan pangan
keluarga, sedangkan nilai tanaman komersil yang tidak dapat dimakan tergantung
kepada harga pasarnya dan kepada harga bahan-bahan kebutuhan pokok konsumen.
Selain biaya tanam dan panen tanaman komersil itu seringkali lebih tinggi, satu
panen tanaman komersil yang baik tidak dengan sendirinya menjamin persediaan
makanan keluarga. Sebab itu, alih-alih mencari untung, para petani hanya
berusaha menghindari kegagalan yang akan menghancurkan kehidupan mereka dan
bukan berusaha memperoleh keuntungan besar dengan mengambil risiko. Inilah yang
kemudian oleh Scott disebut sebagai prinsip safety-first
alias dahulukan selamat.
Prinsip
safety-first inilah yang
melatarbelakangi banyak sekali pengaturan teknis, sosial, dan moral dalam suatu
tatanan agraris pra-kapitalis, kata Scott. Keharusan memenuhi kebutuhan
subsistensi keluarga, seringkali memaksa petani tidak saja menjual dengan harga
berapa saja asal laku, tetapi juga membayar lebih jika membeli atau menyewa
tanah. Seorang petani yang kekurangan tanah, sementara memiliki keluarga besar
dan tidak dapat menambah penghasilan dengan pekerjaan lain, seringkali berani
membayar harga yang sangat tinggi untuk tanah. Scott, mengutip dari Chayanov,
menyebutnya sebagai hunger rent,
selama tambahan tanah itu dapat menambah isi periuk nasi.
Meskipun
Scott menyebut bahwa etika subsistensi itu merupakan tindakan rasional petani
dalam mengelola risiko. Namun, setelah melakukan tindakan teknis yang paling
bijaksana sekalipun, keluarga petani harus dapat bertahan melalui tahun-tahun
di mana hasil bersih panennya atau sumber-sumber lainnya tidak mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya. Lantas apa yang akan dilakukan petani?
Pertama, para petani dapat mengikat sabuk
mereka lebih kencang lagi dengan jalan makan hanya sekali sehari atau beralih
ke jenis makanan yang mutunya lebih rendah. Kedua,
memilih alternatif subsistensi yang menurut Scott dapat digolongkan sebagai
“swadaya.” Misal, kegiatan berjualan kecil-kecilan, bekerja sebagai tukang,
sebagai buruh lepas, atau bermigrasi. Dan terakhir, Ketiga, terdapat banyak sekali jaringan dan lembaga di luar
lingkungan keluarga yang dapat berfungsi sebagai peredam-kejutan selama
krisis-krisis ekonomi dalam kehidupan petani. Seorang petani mungkin akan
dibantu oleh sanak saudaranya, kawan-kawannya, desanya, seorang pelindung
berpengaruh atau patron, dan negara.
Dengan
dicapainya satu tingkat krisis subsistensi, lanjut Scott, tidak berarti bahwa
keluarga-keluarga petani yang hasil panennya di bawah tingkat itu secara
otomatis mati kelaparan. Para petani mungkin akan beralih makan jawawut atau
umbi-umbian, menitipkan anak-anak mereka kepada kerabatnya, menjual hewan
penarik bajak atau terpaksa menjual sebidang tanah, atau mungkin seluruh
keluarga bermigrasi.
Bantuan
yang dapat diharap dari sanak-saudara biasanya jumlahnya terbatas, mereka tidak
dapat menawarkan lebih dari sumberdaya yang dapat mereka himpun di kalangan
mereka sendiri. Sementara, beralih ke resiprositas yang diperkukuh semangat
gotong-royong dari antar kawan dan desa, demikian Scott, hasilnya juga tidak
jauh berbeda yang dapat diberikan oleh sanak-saudara. Kemudian, praktik ikatan
pelindung (patron) dan klien, yakni
suatu bentuk asuransi sosial yang terdapat di mana-mana di kalangan petani Asia
Tenggara, bisa jadi alternatif paling memungkinkan. Seorang patron menurut definisinya
adalah orang yang berada dalam posisi untuk membantu klien-kliennya. Meskipun
para klien seringkali berusaha sebisa-bisanya untuk memberikan arti moral
kepada hubungan itu–oleh karena kedudukan mereka dalam menghadapi patron
seringkali lemah sekali–patronase itu ada segi baiknya, bukan semata sebab bisa
diandalkan melainkan mengingat sumberdayanya.
Para
patron atau elit, yang biasanya berasal dari tuan tanah, mampu memberi jaminan
subsistensi yang mencakup pula pemberian subsidi untuk melalui satu musim yang
gagal. Dengan demikian, lanjut Scott, hubungan “patron” atau “patronage”
mengimplikasikan satu komitmen pribadi dari pihak pemilik tanah untuk
menanggung kebutuhan-kebutuhan kesejahteraan yang minimal dari penyewa atau
petani. Karena pada tingkat terakhir tata-hubungan itu difokuskan pada
tanggungjawab pemilik tanah terhadap penyewa dan keluarganya sebagai konsumen
dan bukan pada satu transaksi ekonomis yang impersonal. Pihak-pihak yang terikat
dalam hubungan patronase biasanya merupakan seorang “klien” yang terikat kepada
tuan tanahnya oleh rasa hormat pribadi dan rasa hutang budi. Sementara untuk
struktur sosial terakhir menurut Scott, negara, menduduki tempat yang ganjil
dalam kerangka ini. Ia seringkali lebih menonjol karena apa yang diambil dari
petani dan bukan karena apa yang diberikan. Misal, akan muncul dalam wujud
pajak.
Satu
hubungan yang jelas dari jaringan struktur sosial di atas, bahwa begitu seorang
petani mengandalkan sanak-saudara atau patron daripada sumberdaya sendiri, maka
atas dasar timbal-balik ia memberikan kepada mereka hak atas tenaga kerja dan
sumberdayanya sendiri. Kerabat dan kawan yang telah menolongnya dari kesulitan
akan mengharapkan perlakuan yang sama apabila mereka sendiri dalam kesulitan
dan apabila ia mampu memberikan pertolongan. Dengan demikian, kata Scott, bahwa
sebetulnya mereka membantu petani karena ada satu konsensus yang tak diucapkan
mengenai resiprositas.
Scott
mengatakan bahwa tuntutan-tuntutan resiprositas dalam sudut pandang etika
subsistensi tidaklah pertama-tama dinilai dari segi tingkat absolutnya,
melainkan atas dasar bagaimana tuntutan-tuntutan itu dapat mempersulit atau
meringankan masalah yang sedang dihadapi petani untuk tetap berada di atas
tingkat krisis subsistensi. Dari sinilah kemudian dapat ditentukan apakah suatu
tuntutan itu eksploitatif atau tidak. Menurut Scott, yang secara alami
dirasakan sebagai yang paling eksploitatif adalah pungutan yang paling sering
mengancam unsur-unsur sentral dari pengaturan-pengaturan subsistensi petani,
pungutan-pungutan yang paling sering membuatnya rawan terhadap krisis-krisis
subsistensi.
Kemudian
Scott membahas bagaimana pertumbuhan negara kolonial dan komersialisasi
pertanian telah memperumit dilema keterjaminan subsistensi kaum tani dengan
sekurang-kurangnya lima cara. Pertama,
satu sektor yang semakin luas dari kaum tani menjadi tidak terlindungi lagi
dari ketidakpastian-ketidakpastian baru yang disebabkan oleh ekonomi pasar dan
yang memperbesar variabilitas penghasilan mereka di atas dan melampaui risiko
fluktuasi hasil panen yang tradisional. Kedua,
bagi sebagian besar petani, nilai desa dan kelompok kerabat sebagai pemberi
perlindungan dan pemikul risiko secara bersama-sama mengalami erosi. Ketiga, berbagai “katup-pengaman” atau
alternatif subsistensi tradisional menjadi berkurang atau bahkan hilang. Keempat, pemilik tanah yang tadinya
memikul sebagian dari risiko pertanian, sekarang tidak saja dapat mengutip
lebih banyak lagi dari petani berupa sewa, tetapi juga memungut bagian yang
tetap dari penghasilan petani-penggarap, dan dengan demikian petani semakin
rawan terhadap risiko-risiko tanaman dan pasar. Dan Kelima, negara semakin dapat memantapkan pendapatannya dari
kebijakan pajak, tidak peduli petani mengalami kerugian.
Dari
kelima perubahan penting yang telah disebut di atas yang membuat keamanan subsistensi
petani lebih problematis menurut Scott ialah soal pungutan yang dilakukan oleh
pemilik tanah dan negara. Meski begitu, peranan kekuatan pasar,
pekerjaan-pekerjaan tambahan, dan pola-pola pemerataan di desa juga memainkan
peran penting dalam problematika tersebut. Sejauh pasar menentukan nilai hasil
panen petani, maka sejauh itu pula ia rawan terhadap ketidakpastian dari
mekanisme harga. Lebih jauh, peranan kekuatan pasar ini telah menyebabkan buruh
tani berdiri dengan kedua kakinya dalam ekonomi pasar; sistem harga sudah
menetapkan baik upah untuk kerja mereka maupun daya beli upah tersebut.
Petani-penyewa, meskipun mereka mungkin hanya memakan sebagian saja dari apa
yang mereka tanam, mereka juga dihadapkan pada beban sewa, bunga dan pajak yang
semakin berat yang mengikuti fluktuasi terhadap kekuatan-kekuatan pasar.
Petani-petani kecil agak terisolasi terhadap kekuatan pasar ini, tetapi karena
mereka juga harus membayar pajak dan cicilan hipotik dan pinjaman, dan mengupah
tenaga kerja, sehingga merekapun jauh dari kata kebal.
Pasar-pasar
barang kerajinan yang tadinya merupakan sumber mata pencaharian sambilan bagi
penduduk desa, mengalami gangguan-gangguan hebat. Pasar-pasar setempat yang
dipenuhi oleh produk-produk buatan petani mengalami kemunduran karena terdesak
oleh spesialisasi yang lebih besar-besaran atau oleh barang-barang impor dari
kota-kota besar. Dan yang lebih penting dari segi ekonomi desa, menurut Scott,
adalah berangsur lenyapnya hutan-hutan setempat sebagai sumber daya alternatif
cuma-cuma dari alam. Perubahan-perubahan itu disebabkan oleh perubahan
demografi dan oleh politik yang secara sadar ditempuh oleh pemerintah kolonial.
Kemudian,
efek perubahan ekonomi kolonial terhadap desa adalah tekanan redistribusi
sumberdaya yang menyebabkan berpindahnya satu persentase yang semakin besar
dari kekayaan riil desa ke luar wilayah hukumnya. Sementara para patron yang
sebelumnya memenuhi etika subsistensi karena khawatir terhadap gangguan petani
semakin tidak begitu rawan lagi terhadap tuntutan-tuntutan subsistensi
kliennya. Lagipun mereka, para patron, tidak lagi begitu tergantung kepada
pengesahan dan dukungan setempat untuk mempertahankan posisi mereka. Sekarang,
pengadilan dan polisi dapat menjamin hak milik mereka atas tanah dan hak mereka
untuk menagih hutang yang berdasarkan perjanjian. Belum lagi, dilema desa dalam
menghadapi tekanan-tekanan redistributif sebagai dampak baru dari harga-harga
pasar yang berfluktuasi dan pertumbuhan penduduk dalam jangka panjang.
Lebih
jauh, Scott mengatakan bahwa sejarah pergeseran dari ikatan-ikatan tuan
tanah-penyewa yang lebih luwes dan menyeluruh ke suatu hubungan uang yang lebih
terus-terang, pada waktu bersamaan juga merupakan sejarah dimasukkannya Asia
Tenggara ke dalam ekonomi dunia kapitalis. Fakta yang paling mencolok menurut
Scott mengenai tata-hubungan antara pemilik tanah dengan penyewa atau buruh
tani adalah bahwa tata hubungan itu telah kehilangan banyak dari isinya yang
paternalistis dan bersifat melindungi dan menjadi lebih impersonal dan bercorak
kontrak.
Akantetapi,
dalam pandangan petani, perubahan yang kritis dari feodal ke kapital itu
tidaklah terutama bahwa tuan tanah bisa memungut lebih banyak dari hasil panen,
tetapi bahwa tata-hubungan itu secara keseluruhan telah kehilangan nilai protektif
yang pernah dimilikinya. Sebagai suatu tata-hubungan ia telah bergeser dari
suatu keadaan ketergantungan di dalam rangka jaminan-jaminan tertentu (hubungan
patron-klien) ke keadaan yang lebih terus-terang dan lebih menyakitkan, dengan
hubungan kontrak yang berdasarkan uang jaminan sosial yang sedikit saja, atau
tidak ada sama sekali, bagi pihak yang lebih lemah.
Tatanan
agraris telah kehilangan elastisitas ekonominya, demikian Scott, dan dengan
demikian juga landasan moralnya, bagi penyewa. Tuntutan dari tuan tanah agar ia
ditaati tergantung kepada persyaratan bahwa ia memenuhi tuntutan minimal akan
keadilan sosial–yakni perlindungan subsistensi. Begitu perlindungan itu
menghilang, maka menghilang pula sisa-sisa terakhir dari sikap taat yang
sukarela. Penyewa dan buruh bertindak lebih jauh dari sekadar menyampaikan
keluhan secara formal atau mengadakan rapat-rapat protes, mereka menyerobot
tanah dan tidak mau pergi apabila tuan tanah membatalkan perjanjian sewa.
Perlawanan itu dalam perkembangan berikutnya menunjukkan proporsi-proporsi
pemberontakan, kata Scott.
Mengenai
pajak oleh negara, Scott secara terus terang mengatakan yang paling membuat
marah kaun tani yang hidup di wilayah kekuasaan kolonial agaknya adalah
pajak-pajaknya. Sulit untuk menemukan sejumlah besar demonstrasi, petisi, atau
pemberontakan yang melibatkan kaun tani, di mana beban pajak tidak merupakan
pokok persoalan yang menonjol. Meskipun yang diperjuangkan oleh
pemimpin-pemimpin pemberontakan adalah kemerdekaan, tetapi bagi kaum pemberontak
itu makna yang pertama dari kemerdekaan adalah berakhirnya pemungutan pajak yang
eksploitatif, yang telah menjadi impian umum di kalangan kaum tani di Asia
Tenggara pada zaman kolonial. Dengan demikian, lanjut Scott, perpajakan sebagai
pokok persoalan agraris yang populer telah mencapai puncaknya di zaman
penjajahan. Hal ini membuktikan bagaimana politik fiskal negara kolonial
semakin memperkosa moral ekonomi dari etika subsistensi.
Bukti-bukti
di dalam konteks Asia Tenggara menunjukkan bahwa prubahan struktural yang terjadi
di zaman kolonial telah memungkinkan golongan elit dan negara untuk semakin
melanggar moral ekonomi kaum tani dan menjadi lebih eksploitatif. Pertanyaan
selanjutnya yang diajukan Scott ialah apa makna ‘eksploitatif’ itu? Untuk
menjawab ini Scott mengatakan, Pertama,
eksploitasi itu harus dilihat sebagai suatu tata-hubungan
antara perorangan, kelompok atau lembaga di mana ada pihak yang
dieksploitasi dan adanya pihak yang mengeksploitasi. Kedua, eksploitasi merupakan distribusi tidak wajar dari usaha dan hasilnya, dan hal ini selanjutnya
memerlukan adanya suatu ukuran tentang keadilan distribusi untu mengukur
tata-hubungan yang ada.
Scott
tidak menggunakan ukuran keadilan sebagaimana pendekatan deduktif umumnya. Ia
mengajukan sendiri setidaknya empat ukuran keadilan yang potensial yang dapat
diterapkan oleh petani-penyewa terhadap situasi mereka, yaitu; taraf hidup, alternatif terbaik berikutnya, resiprositas
atau pertukaran sepadan, dan harga
yang adil dan legitimasi. Dengan demikian, baik dalam rutin-rutin setempat
yang normal maupun dalam kekerasan suatu pemberontakan, terjalinlah ke dalam
jaringan perilaku petani itu struktur suatu universal moral bersama, suatu
pengertian bersama tentang apa itu adil. Warisan moral inilah yang, di dalam
pemberontakan-pemberontakan petani, memilih sasaran tertentu saja, bentuk
tertentu saja, dan yang memungkinkan diambilnya tindakan kolektif yang lahir
dari kemarahan moral.
Lalu bagaimana memahami kemarahan moral yang dengan begitu jelas merupakan bagian integral dari pemberontakan petani? Tanya Scott. Jawabannya dapat dimulai dengan dua prinsip moral yang nampaknya terpancang dengan kokoh dalam pola-pola sosial dan perintah yang berlaku dalam kehidupan petani, yakni; norma resiprositas dan hak atas subsistensi. Prinsip resiprositas mengharuskan orang untuk membantu mereka yang pernah membantunya atau setidaknya jangan merugikannya. Sementara, prinsip subsistensi tercermin di dalam tekanan-tekanan sosial terhadap golongan yang relatif mampu di desa agar mereka bermurah hati terhadap tetangga mereka yang kurang mampu. Hak atas subsistensi itu cenderung untuk dihormati dalam tatanan agraris pra-kapitalis. Sikap-sikap terhadap sistem persewaan tanah dan kewajiban-kewajiban tuan tanah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan material yang minimum dari penyewa-penyewanya. Asumsi yang mendasari prinsip ini adalah bahwa semua anggota komunitas mempunyai hak yang cukup beralasan untuk mendapat nafkah hidup selama sumber-sumber kekayaan setempat memungkinkannya.
Meskipun di akhir tulisannya Scott mengatakan bahwa pemberontakan bukanlah satu-satunya jalan yang dapat ditempuh petani, tetapi jamaknya di Asia Tenggara pelanggaran terhadap norma resiprositas dan hak subsistensi–yang merupakan inti dari moral ekonomi petani–adalah salah satu faktor yang menyebabkan meletusnya pemberontakan.
0 comments