"...pandemi hanya suatu kesempatan lebih–dibanding momen di luar pandemi–bagi alam untuk memulihkan diri. Namun, kebijakan adalah faktor yang paling menentukan apakah proses healing alam berlangsung dengan baik atau tidak."
Lewat satu tahun pandemi COVID-19
berlangsung di Indonesia. Yang memporak-porandakan kehidupan masyarakat.
Ekonomi berjalan terseok-seok, pelajar terpaksa dirumahkan, museum, tempat
pariwisata dan tongkrongan ditutup–setidaknya dibatasi. Pandemi menjadi
alasan utama di balik terbitnya kebijakan yang membatasi aktivitas manusia
secara langsung itu. Yasraf A. Piliang bahkan menulis pandemi virus korona
layaknya “bom” yang menghantam dunia dan menimbulkan gelombang kepanikan,
ketakutan, dan ketidakberdayaan global sangat hebat (Kompas, 30 Maret 2020).
Muncul asumsi yang menyatakan bumi
sedang memperbaiki diri dari berbagai kekacauan yang telah diciptakan manusia,
seperti; polusi, limbah dan melimpahnya populasi. Tapi benarkah demikian? Bahwa
pandemi merupakan ajang bagi bumi (baca: alam) untuk memulihkan diri. Anggapan
demikian, yang menyebut pandemi sebagai titik balik alam ‘membalas’ kejahatan
manusia seolah mengamini jika di masa tidak ada pandemi maka alam tidak mampu
memperbaiki diri.
Angka kematian yang terus dikampanyekan
di berbagai media dianggap sebagai bukti kontradiksi dari melimpahnya populasi.
Padahal, data sepanjang pandemi COVID-19 juga menunjukkan meningkatnya jumlah
kehamilan di Indonesia (kompas.com. 20 Mei 2020). Mungkinkah kita menarik konklusi
yang menyatakan ini merupakan respon balik manusia kepada alam? Ketika alam
meledakkan bom atom berupa pandemi COVID-19 yang berakibat pada runtuhnya angka
populasi, maka manusia mengeluarkan senjata pamungkas untuk melakukan produksi
sebaliknya dari jumlah kematian. Tidak ada jaminan pandemi akan mengurangi jumlah
manusia di dunia dan peluang pencemaran terhadap alam.
Ungkapan menarik disampaikan
Emanuela Barbiroglio yang menyebut sejatinya alam telah sejak lama melakukan
pemulihan diri. Yang paling menentukan dari semua proses perbaikan itu ialah
kebijakan yang baik (forbes.com, 30 Maret 2020). Lewat pandangan Barbiroglio
kita bisa melihat dari perspektif lebih kritis di mana pandemi hanya suatu
kesempatan lebih–dibanding momen di luar pandemi–bagi alam untuk memulihkan
diri. Namun, kebijakan adalah faktor yang paling menentukan apakah proses healing
alam berlangsung dengan baik atau tidak.
Di Indonesia pembuangan limbah
plastik mengalami kenaikan drastis selama masa pandemi. Meski pengumpulan data
limbah plastik setahun terakhir tidak semasif pengumpulan data kematian. Kita
bisa melihat fenomena plastik senantiasa ada di mana-mana, seperti; kantong
plastik, APD (Alat Pelindung Diri), sarung tangan, face shield, alat
suntik, alat rapid, pembungkus mayat dan sebagainya. Bisa ditemukan di
perkantoran, tempat ibadah, rumah makan, pasar, stasiun, terminal bandara,
terminal bus, rumah sakit, bahkan di kuburan. Ke mana limbah-limbah itu dikirim
setelah digunakan? Tentu ke bumi–alam. Beberapa didaur ulang menggunakan teknik
yang menyebabkan polusi berbahaya lainnya.
Sebelum pandemi telah ada kebijakan
yang dibuat pemerintah yang melarang tempat-tempat makan siap saji dan toko-toko
ritel menyediakan sedotan dan kantong plastik bagi pelanggan. Suatu kebijakan
bernuansa ekologi, tapi tidak berefek secara radikal selama pandemi berlangsung.
Meski tidak menyediakan sedotan berbahan plastik, namun mereka menyediakan
sarung tangan plastik. Tindakan ambivalen ini terjadi karena bangunan ideologi
politik yang menyebut plastik sebagai medium paling aman dari dampak buruk
pandemi. Kita membuat kebijakan, yang dikenal protokol, di mana plastik menjadi
komponen penting di dalamnya. Padahal, ia menimbulkan dilema sebaliknya soal
keamanan lingkungan yang pada muaranya juga berefek buruk terhadap manusia.
Keberadaan kebijakan pembatasan
penggunaan plastik dan cukai plastik yang telah dibuat dan mulai dilaksanakan
(ppid.menlhk.go.id, 21 Februari 2020) tidak berjalan efektif dengan adanya kebijakan
longgar terhadap penggunaan plastik selama masa pandemi, yang justru melegalkan
tindakan pencemaran yang dilakukan manusia terhadap alam. Sehingga, alih-alih
mendukung alam merestorasi diri dari kekacauan ulah manusia. Kelonggaran kebijakan
penggunaan plastik justru menjadi ancaman serius terhadap kerusakan alam yang
panjang di masa akan datang. Seperti ungkapan Rachel Carson (1962), seolah
menjadi senjata makan tuan di mana penyingkiran sumber penyakit menggunakan
hasil olahan bahan kimia (dalam hal ini plastik) justru membawa ancaman
penyakit dan kematian terhadap manusia sendiri.
Kita tidak pernah tahu berapa banyak
dari limbah itu hanyut dan menyumbat selokan air, menumpuk dan memadat di dasar
air dan berapa banyak yang hanyut hingga ke laut. Mengancam, bahkan, tidak
hanya semua biota di dalamnya tetapi juga manusia. Kematian biota di dalam air,
banjir dan menurunnya kualitas kesehatan manusia dalam jangka panjang adalah dampak
serius yang akan timbul kemudian. Manakala limbah plastik itu diolah untuk
dimanfaatkan kembali, prosesnya tetap mengeluarkan polusi berupa zat berbahaya
dalam bentuk lain bagi kesehatan manusia dan alam. Untuk itu, para ahli dan
pembuat kebijakan sudah seharusnya berpikir ulang penggunaan bahan plastik
dalam penyusunan protokol di tengah pandemi COVID-19. Kita tidak ingin niat
baik hari ini justru menjadi beban kesulitan bagi generasi mendatang.
0 comments