Goresan Intelektual

(sumber: koran.tempo.co)
 

Mhd Zakiul Fikri

...semangat dari Peraturan Menteri LHK No. 10 Tahun 2024 penting untuk dirawat...

Satu dekade terakhir berbagai peristiwa kriminalisasi terjadi terhadap aktivis maupun warga yang memperjuangkan hak untuk memanfaatkan serta mempertahankan kelestarian sumber daya agraria di sekitar mereka. Dimulai dari kasus Salim Kancil, September 2015 silam, yang tewas dikeroyok setelah gigih menolak penambangan pasir di desanya. Penambangan tersebut mengakibatkan saluran irigasi persawahan rusak. Setelah peristiwa itu, eskalasi kriminalisasi dan intimidasi terhadap aktivis maupun warga yang memperjuangkan ekosistem lingkungannya semakin meningkat.

Rasa-rasanya baru kemarin tiga masyarakat adat Sihaporas di Sumatera Utara ditangkap saat sedang terlelap pada malam bulan Juli 2024. Begitu pula dengan vonis bersalah hakim Pengadilan Negeri Jepara terhadap aktivis lingkungan Karimunjawa, Daniel Frits Maurits Tangkilisan, pada April 2024 lalu. Sementara, oktober 2023 aksi unjuk rasa Masyarakat Desa Bangkal di Kalimantan Tengah bentrok dengan ‘aparat keamanan,’ Gijik yang merupakan salah satu peserta unjuk rasa tewas setelah menerima luka tembak di bagian dada.

Itu bukan kali pertama aparat keamanan terlibat bentrok dengan warga yang memperjuangkan haknya. Sebulan sebelum peristiwa Desa Bangkal di Kalimantan Tengah, September 2023, gas air mata dilepaskan oleh aparat keamanan ke arah pemukiman warga Rempang, Kepulauan Riau, dalam agenda pengosongan tanah adat masyarakat untuk kepentingan pembangunan Proyek Strategis Nasional. Gas air mata itu bersarang hingga ke area sekolah dasar dan sekolah menengah pertama pada saat jam belajar sedang berlangsung, akibatnya sepuluh siswa dan seorang guru dilarikan ke rumah sakit.

Untuk mengatasi agar peristiwa serupa tidak terulang lagi, pada 30 Agustus 2024, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) secara progresif menerbitkan Peraturan Menteri LHK No. 10 Tahun 2024 tentang Pelindungan Hukum Terhadap Orang yang Memperjuangkan Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat. Melalui peraturan menteri ini diharapkan kriminalisasi dan intimidasi terhadap aktivis dan warga yang memperjuangkan kelestarian ekosistem lingkungan hidup tidak terulang lagi. Namun, peraturan menteri ini jika ditilik lebih jauh menghadapi berbagai tantangan yang berpengaruh pada efektifitas pelaksanaannya di lapangan.

Pertama, Peraturan Menteri LHK No. 10 Tahun 2024 belum tentu berjalan efektif di ranah pidana. Hal ini disebabkan peraturan tersebut tidak dapat membatasi atau memperluas tugas dan wewenang kepolisian yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kepolisian tidak tunduk secara langsung pada Peraturan Menteri, kecuali sudah diterjemahkan ke dalam peraturan yang relevan dengan tugas-tugas kepolisian. Peraturan yang dapat secara langsung mengikat atau mengatur kepolisian harusnya berupa peraturan yang memiliki kekuatan lebih tinggi dari sekadar Peraturan Menteri atau setidaknya berasal dari lembaga yang lebih relevan, misalnya Peraturan Presiden atau Peraturan Kapolri.

Kedua, perlindungan hukum yang seharusnya merupakan kewajiban pemerintah dihadapkan pada urusan birokrasi yang rumit. Peraturan Menteri LHK No. 10 Tahun 2024 mengharuskan kepada warga atau aktivis yang ingin memperoleh perlindungan hukum untuk mengajukan permohonan kepada Menteri LHK (Pasal 9 dan 10). Setelah memperoleh permohonan sesuai format yang telah dilampirkan, berkas permohonan tersebut selanjutnya dinilai oleh tim penilai yang terdiri dari berbagai kalangan, seperti; kementerian, aparat penegak hukum, kementerian/lembaga terkait, pemerintah daerah, akademisi/ahli, dan unsur terkait lainnya. Tim penilai ini melakukan verifikasi dan validasi dokumen permohonan, menilai permohonan, serta menyampaikan hasil penilaian kepada Menteri (Pasal 11).

Ketentuan-ketentuan yang menekankan pada aspek birokrasi-administratif dalam Peraturan Menteri LHK No. 10 Tahun 2024 telah menggeser paradigma hak asasi manusia atas lingkungan hidup. Dalam paradigma hak asasi manusia, memperoleh ekosistem lingkungan hidup yang baik dan bersih merupakan hak asasi masyarakat yang harus dipenuhi (fulfill) pemerintah secara bertanggungjawab. Selanjutnya, dalam hal menjaga serta melindungi kelestarian ekosistem lingkungan hidup pemerintah harus bertanggungjawab melindungi (protect) dan menghormati (respect) setiap langkah politik hukum yang ditempuh oleh warga maupun aktivis lingkungan.

Karena memperoleh perlindungan hukum dari ikhtiar menjaga kelestarian lingkungan merupakan hak asasi, harusnya masyarakat tidak dihadapkan pada urusan birokrasi-administratif yang rumit. Selain itu, memusatkan semua kewenangan kepada Menteri bakal berdampak pada rendahnya efektifitas pemberian perlindungan hukum bagi warga atau aktivis. Ditambah lagi, tidak ada ruang keterlibatan secara bermakna bagi pemohon atau warga maupun aktivis dalam proses penilaian permohonan.

Ketiga, tantangan dari Undang-Undang sektoral lainnya. Selain memiliki persoalan dari sisi hirarki di mana Peraturan Menteri berada di bawah Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah, dan Undang-Undang, keberadaan ketentuan pada Undang-Undang sektoral yang memungkinkan terjadinya kriminalisasi terhadap aktivis dan warga yang memperjuangkan haknya juga akan melemahkan kekuatan berlaku dari Peraturan Menteri LHK No. 10 Tahun 2024. Misalnya, Pasal 73 dan Pasal 74 Undang-Undang No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi mengatur setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau merintangi pengusahaan sektor yang dimaksud diancam dengan pidana penjara. Ketentuan yang sama juga ditemukan dalam Pasal 162 Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 jo. Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Dari dua rezim Undang-Undang tersebut, setiap upaya aktivis dan warga untuk mempertahankan haknya atas lingkungan yang baik dan sehat sering kali dianggap sebagai tindakan antagonis yang menghalangi dan merintangi pengusahaan sektor tertentu, sehingga mereka dengan gampang dijebloskan ke dalam penjara. Paling mudah lagi, ketika warga atau aktivis menyuarakan protes di media sosial. Mereka dengan enteng diseret ke meja penyidik melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, seperti kasus yang dialami Daniel Frits Maurits Tangkilisan.

Dengan demikian, rumusan perlindungan hukum warga atau aktivis yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik melalui Peraturan Menteri LHK No. 10 Tahun 2024 belum tentu berpengaruh secara signifikan. Peraturan tersebut dihadapkan pada regulasi sektoral yang secara hirarki berada jauh di atasnya, sehingga ada dua asas hukum yang berpotensi meluluhlantakkan norma-norma baik yang ada di dalamnya, yakni asas lex superior derogat legi inferiori (peraturan yang lebih tinggi menyampingkan peraturan yang lebih rendah) dan asas lex specialis derogat legi generalis (peraturan yang khusus mengesampingkan peraturan yang umum).

Terakhir, semangat dari Peraturan Menteri LHK No. 10 Tahun 2024 penting untuk dirawat. Agar kekuatan mengikatnya lebih luas dan tegas, maka perlu diatur secara khusus oleh regulasi setingkat Undang-Undang atau setidaknya melalui Peraturan Pemerintah. Selain itu, ketentuan-ketentuan mengenai perlindungan hukum bagi aktivis dan warga yang berjuang mempertahankan keberlanjutan ekosistem lingkungan dan sumber daya agraria harus disusun lebih praktis sesuai paradigma hak asasi manusia. Kepolisian juga diharapkan segera merespon upaya demokratisasi aktivis dan warga yang memperjuangkan hak asasi mereka atas lingkungan yang baik dan sehat dengan merumuskan peraturan operasional di level internal.

 

*Artikel ini pernah terbit di Koran Tempo edisi Jum’at tanggal 13 September 2024 dengan judul yang sama, “Basa-basi Aturan Perlindungan Hukum Aktivis Lingkungan”

(sumber: kompas.id)


 Mhd Zakiul Fikri

“Alih-alih mengobral hak guna usaha 190 tahun, lebih baik pemerintah memberikan jaminan keamanan tenurial ke investor.”

Pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara (IKN) yang direncanakan menjadi pengganti ibu kota negara Jakarta kembali menuai perhatian publik. Hal itu terjadi manakala Presiden Joko Widodo mengesahkan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan IKN. Salah satu isu yang menjadi sorotan dari peraturan tersebut adalah soal pemberian hak guna usaha yang jangka waktunya mencapai 190 tahun. Ketentuan ini dapat ditemukan dalam Pasal 9 Ayat (2).

Sebetulnya tidak ada yang baru dari ketentuan tersebut karena pasal tersebut merupakan salinan dari norma Pasal 18 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2023 tentang Pemberian Perizinan Berusaha, Kemudahan Berusaha, dan Fasilitas Penanaman Modal bagi Pelaku Usaha di IKN. Ketentuan sama juga diatur dalam Pasal 16A Ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2023 tentang Perubahan atas UU No 3/2022 tentang IKN.

Dalih yang digunakan pemerintah ketika merumuskan norma tersebut salah satunya ialah sebagai pemikat minat investor asing agar berkenan terlibat dalam pembangunan sektor investasi non-APBN di IKN. Dari segi regulasi, pemberian konsesi yang mencapai 95 tahun untuk satu kali siklus tersebut bukan pula baru muncul pada pemerintah saat ini, tetapi pernah diatur oleh pemerintah sebelumnya melalui Pasal 22 Ayat (1) UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal.

Penjelasan Pasal 22 Ayat (1) UU Penanaman Modal menyatakan terhadap hak guna usaha yang telah habis masa berlaku selama 95 tahun dapat diperpanjang selama 60 tahun dan diperbarui selama 35 tahun. Artinya, total lama pemberian hak guna usaha oleh UU IKN dan peraturan turunannya memiliki kesamaan dengan ketentuan yang pernah diatur dalam UU Penanaman Modal, yaitu selama 190 tahun.

Kurang dari setahun sejak diundangkan, pada 2008 norma Pasal 22 Ayat (1) UU Penanaman Modal dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 21-22/PUU-V/2007.

Alih-alih menghidupkan kembali norma yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi, akan lebih baik bagi pemerintah memperhatikan kebutuhan investor ketika menanamkan modalnya dalam proyek pembangunan IKN. Investor bisa saja lebih memilih kepastian akan jaminan keamanan tenurial di Indonesia sebelum benar-benar menanamkan modalnya.

Sistem jaminan keamanan tenurial ini diharap memberikan rasa aman bagi investor mengenai status hukum tanah yang akan mereka kelola, terhindar dari kemungkinan permasalahan, sengketa, hingga konflik pertanahan antara investor dan klaim hak masyarakat di sekitar proyek pembangunan. Sistem yang demikianlah yang perlu diperkuat, baik di dalam UU IKN maupun peraturan turunannya seperti PP No 12/2023 dan Perpres No 75/2024.

Mengenai sistem keamanan tenurial di IKN, ada beberapa hal yang perlu dicermati kembali dari berbagai peraturan pokok yang terkait dengan pembangunan IKN. Pertama, Pasal 16 Ayat (1) UU IKN memang telah mengatur bahwa tanah untuk pembangunan proyek IKN diperoleh dari pelepasan kawasan hutan dan pengadaan tanah. Tanah itu kemudian ditetapkan sebagai barang milik negara dan aset dalam penguasaan otorita IKN, diatur dalam Pasal 16 Ayat (1) PP No 12/2023.

Namun, belum ada peraturan lebih lanjut yang mengatur tata cara penetapan suatu kawasan sebagai barang milik negara ataupun sebagai aset dalam penguasaan otorita IKN. Selain itu, tidak pula ada perintah dari peraturan yang telah ada untuk membentuk norma penjelas.

Kedua, Pasal 15 Ayat (6) UU IKN lebih jauh mengatur bahwa pengadaan tanah dilakukan atas tanah yang secara de facto tidak difungsikan. Sementara itu, dalam hal tanah yang secara fisik telah difungsikan akan dilakukan konsolidasi. Pasal 8 Perpres No 75/2024 mengatur penanganan terhadap tanah-tanah yang dikuasai masyarakat dengan iktikad baik, yang termasuk kawasan aset dalam penguasaan otorita IKN, dilakukan dengan cara pengadaan tanah oleh tim terpadu yang diketuai kepala otorita.

Apabila masyarakat keberatan dengan ganti kerugian yang ditawarkan oleh tim terpadu, dilakukan konsinyasi. Norma demikian sama artinya pemerintah memaksa rakyatnya untuk menjual paksa tanah mereka yang diklaim berada dalam kawasan aset dalam penguasaan otorita.

Lebih jauh, baik di UU IKN maupun peraturan turunannya belum diatur dengan jelas tentang tata cara konsolidasi atas tanah yang secara de facto telah dikuasai dan dikelola oleh masyarakat. Kalau diperhatikan, ketentuan yang diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No 4/1991 tentang Konsolidasi Tanah, setidaknya ada empat hal yang menjadi prasyarat pelaksanaan konsolidasi tanah.

Satu, konsolidasi dilakukan untuk pembangunan prasarana dan fasilitas umum. Dua, melibatkan partisipasi para pemilik atau penggarap tanah. Tiga, lokasi konsolidasi ditetapkan bupati/wali kota selaku kepala daerah tingkat II. Empat, dilaksanakan apabila sekurang-kurangnya 85 persen dari pemilik tanah yang luas tanahnya meliputi sekurang-kurangnya 85 persen dari luas seluruh areal tanah konsolidasi menyatakan setuju.

Pertanyaannya, dapatkah konsolidasi tanah dilakukan di atas kawasan aset dalam penguasaan otorita? Mengingat di kawasan aset dalam penguasaan otorita tidak saja fasilitas umum yang akan dibangun, tetapi juga fasilitas komersial, seperti hotel, pusat perbelanjaan, restoran, dan pusat hiburan atau rekreasi.

Ketiga, ketentuan Pasal 15A UU IKN masih kabur dan membingungkan. Pasal 15A Ayat (1) mengatur bahwa salah satu tanah di IKN ialah tanah milik masyarakat. Selanjutnya, yang dimaksud dengan tanah milik masyarakat oleh Pasal 15A Ayat (5) ialah ”tanah dengan hak atas tanah berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan tanah yang dikuasai oleh pihak yang berhak.”

Pada Pasal 15A Ayat (6) kemudian diatur ”hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada Ayat (5) berupa hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai dapat diberikan di atas tanah negara, tanah hak milik, atau tanah hak pengelolaan.” Tidak ditemukan ketentuan lebih lanjut dalam UU IKN tentang ”tanah yang dikuasai oleh pihak yang berhak” sebagaimana diatur dalam Pasal 15A Ayat (5).

Dari berbagai catatan tersebut dapat dilihat sesungguhnya ruang bagi terjadinya permasalahan, sengketa, dan konflik tenurial di kawasan pembangunan IKN sangat mungkin terjadi. Norma yang ada saat ini sangat longgar dalam memberi kepastian hukum penyelesaian isu-isu berkenaan penguasaan dan kepemilikan tanah.

Dengan demikian, alih-alih mengobral hak guna usaha hingga selama 190 tahun yang jelas telah diputus inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi dan jauh dari semangat lahirnya UU Pokok Agraria Tahun 1960, maka akan lebih baik bagi pemerintah untuk memberikan jaminan keamanan tenurial kepada para calon investor.

Jaminan keamanan tenurial bagi investor dapat diberi dengan merevisi regulasi yang telah ada terkait dengan pembangunan IKN. Dalam regulasi terbaru perlu dipertegas pengaturan tentang tata cara penetapan kawasan barang milik negara dan kawasan aset dalam penguasaan otorita, melibatkan partisipasi aktif masyarakat terdampak dalam pengadaan tanah, mengatur dengan tegas hal berkenaan dengan konsolidasi tanah, dan mengatur dengan tegas perlindungan hak bagi rakyat yang menguasai dan mengelola fisik tanah dengan cara iktikad baik.

 

*Artikel ini pernah terbit di Kompas.id edisi Kamis tanggal 1 Agustus 2024 dengan judul yang sama, “TantanganKeamanan Tenurial di IKN bagi Investor”

 

(source: thejakartapost.com)

MhdZakiul Fikri

...all land designated as forest areas is considered free state land, allowing the government to grant concessions to anyone it wishes without the need for a land acquisition process...

The Awyu indigenous community in Boven Digoel regency, South Papua has recently captured the attention of social media with the viral tagline #AllEyesOnPapua, which serves as a symbol of solidarity with the Papuan tribe’s resistance to forest resource exploitation by oil palm plantation company PT Indo Asiana Lestari. The Awyu community is also engaged in a struggle against land clearing for oil palm plantations by PT Kartika Cipta Pratama and PT Magakarya Jaya Raya.

Approximately 36,094 hectares of forest have been cleared by PT Indo Asiana Lestari for oil palm plantation concessions. The deforestation in the regency could exceed this figure when including the concession lands of other palm oil companies. In 2023, Pustaka Bentala Rakyat reported that about 51,000 ha of forest in Boven Digoel had been logged for the timber trade and oil palm land clearance. The large-scale deforestation has threatened the sustainability of the forest’s biodiversity and the animals inhabiting the area. This situation has also deprived the indigenous communities of their ancestral forest assets, which they have relied on for hunting and harvesting sago for their daily needs.

For the indigenous people, the forest represents a wealth that guarantees their survival and cultural continuity. At this point, the struggle against corporate concessions becomes pertinent, as the indigenous communities are disadvantaged, and their identities are at risk of extinction. The tenure conflict involving the Awyu community in Boven Digoel is not solely due to the presence of forest concession holders and palm oil plantation companies. Rather, it originates from the government’s desire to enhance the “surplus value” of land and forests labeled as unproductive. This desire was subsequently formalized in a policy that facilitated access to the proposed surplus value.

Consequently, the Forestry Ministerial Decree No. 782/2012 on the forest area map of Papua province was issued, designating all forest areas in Boven Digoel as state forest. The types of forests are cateforized as permanent production forest areas, convertible production forest areas, limited production forest areas, plantation allocation forest areas, agricultural land allocation areas and protected forest areas. Unfortunately, in Boven Digoel, no forest areas have been designated as adat (ancestral) forests. Additionally, the forest area map has been upheld through Provincial Regulation No. 23/2013 on the spatial planning for Papua province for the 2013-2033 period. South Papua province was formed in 2022, having been separated from Papua.

The government’s mapping of forest areas that do not recognize the existence of adat forests has paved the way for the unrestricted entry of company concessions in the forestry and plantation sectors. This situation arises due to the doctrine that all land designated as forest areas is considered free state land, allowing the government to grant concessions to anyone it wishes without the need for a land acquisition process. Whereas, Boven Digoel has long been inhabited by various tribes, including the Awyu. This fact indicates the weakness of regulations regarding the recognition and protection of indigenous communities’ right to the forest, particularly for the Awyu. Nevertheless, the community’s claims to adat forest rights are still being pursued. Indeed, the government has yet to ratify and enact into law several international agreements on the recognition and protection of indigenous community rights over their ancestral natural resources, particularly rights to land and forests.

Several agreements, such as International Labor Organization Convention No. 169.1989 on indigenous and tribal peoples and the United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples of 2007, are noteworthy. These international agreements obligate state parties to grant indigenous communities the right to self-identification and the right to accept or reject developments that could harm their survival and culture, through the principle of free, prior and informed consent. The government and the House of Representatives have not enacted laws regarding indigenous peoples either. Within a highly administrative and positivistic regime, this is detrimental to indigenous communities, including but not limited to the indigenous peoples in Boven Digoel. The government does not provide accommodative space for them to obtain recognition and procedural justice about the issues they face due to the absence of such legislation. This is confirmed by a survey report conducted by the Center of Economic and Law Studies (CELIOS) this year, which found that at least 53 percent of Indonesians are unaware of the communal or adat land rights registration process.

The lack of knowledge among indigenous communities in submitting applications for adat land and forest rights is attributed to the absence of specific legislation addressing this issue. Additionally, the regulations regarding the procedures for the recognition and protection of adat forest rights remain sectoral and complex. This is evidenced by the numerous sectoral regulations governing the recognition of the indigenous communities, issued by various ministries, including the Home Ministry, the Villages, Disadvantaged Regions and Transmigration Ministry, the Agriculture Ministry and the Environment and Forestry Ministry.

The multitude of these sectoral regulations complicates the efforts of indigenous communities to obtain recognition and protection of adat forest rights. Although sectoral regulations and even regional regulation that provide procedures for the recognition of indigenous communities have been issued by the government, these sectoral and regional regulations remain ineffective in practice. For example, the environment and forestry minister signed Regulation No. 9/2021 on the management of social forestry. The Boven Digoel administration has enforced Regional Ordinance No. 2/2023 on the recognition and protection of indigenous peoples’ rights, but its implementation faces challenges due to the principle of the hierarchy of legislation lex superior derogat legi inferiori (a higher norm overrides a lower norm). Additionally, the regulations often contradict one another. For instance, some ministerial regulations recognize and protect the rights to adat forests. However, at the law level, there are no norms regulating the same provisions.

If left unaddressed, this situation will continue to perpetuate tenure conflicts between indigenous communities and the state and corporations. Consequently, not only will the government suffer from ongoing involvement in these conflicts, but corporations will also be disrupted and harmed due to the government’s unilateral policies in designating free state forest areas, without considering the de facto land control by indigenous communities. Therefore, the government must begin to take bold steps, in collaboration with the House of Representatives to ratify international agreements concerning indigenous peoples, enact indigenous peoples’ laws and facilitate the recognition and stipulation of adat forests.


*Artikel ini pernah terbit di The Jakarta Post edisi Senin tanggal 11 Juni 2024 dengan judul yang sama, “Denial of indigenous peoples’rights fuels land tenure conflict”

(source: thejakartapost.com)


Mhd Zakiul Fikri

... what is currently required by the government to mitigate the occurrence of land conflicts arising from land acquisition for projects in the National Capital City region is to prioritize a humanistic approach.

No foreign investors have invested in the Nusantara Capital City (IKN) project. Although many investors have claimed to have sent letters of interest, they appear to be more inclined to wait and see the project’s progress. One point that has drawn attention is the unresolved land acquisition issues leading to land conflicts between the state and affected communities. The recent maltreatment of the Indigenous people is just one example.

Despite all-out efforts by the government to attract investors’ attention to the project, they will face significant challenges. Few individuals would dare to invest in land embroiled in conflict. Investors adhere to increasingly stringent Environmental, Social, and Governance (ESG) standards, especially in developed countries. Thus, land conflicts will significantly influence investors’ commitment to participate in the IKN development process.

The recent plan of the IKN Authority to evict indigenous inhabitants who have resided for a long time in the designated capital city has sparked controversy because it reminds people of the common practices during Soeharto’s 32-year ruling in the name of national development. The same dirty tactics were used a few months ago on Rempang Island in Riau, although the local inhabitants have lived there for generations.

On March 8, hundreds of residents attended an invitation for “socialization” from the Authority. The meeting concluded after attending residents protested the unilateral decision of the authority body to demolish their homes.  Villagers in the vicinity of the IKN, such as Bumi Harapan, Pemaluan, Tengin Baru, and Suka Raja villages, received warning letters from the IKN Authority. The issuance of these warning letters is justified by the claim that the residential houses of the community are situated within the IKN region and are required to relocate immediately.

About 20,000 indigenous peoples from 21 indigenous communities live in the area. They have lived and sustained their daily livelihoods from the natural resources surrounding their settlements for many years. The indigenous or local communities have traditionally occupied the physical land without any dispute before the IKN project claimed the area. 

The legal politics of land acquisition conducted by the government has led to friction between indigenous communities seeking to defend their land resources and the government requiring land to develop the IKN project. The people are subjects of law protected by the national land law regime, such as the 1960 Basic Agrarian Law, the 2012 Land Acquisition Law, and the 1997 Government Regulations on Land Registration.

However, instead of obtaining legal recognition through the object of land reform or social forestry programs, indigenous settlements and local communities that have long inhabited the area are often labeled as unauthorized development violators and non-compliant with spatial planning by the government.  One aspect highlighted in the land acquisition for the development of the Nusantara Capital City is the issue of cognitive justice, procedural justice, and distributive justice for the affected communities. These three concepts of justice are closely related to applying the principle of free prior and informed consent. 

According to this principle, any development or even land clearance is not permitted without the consent of the affected communities, especially indigenous communities who have long inhabited the areas targeted for land acquisition for development. This principle can be found in Article 10 of the United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples in 2007. Let us examine how this principle is applied in land acquisition to develop the IKN project. Rather than soliciting views, input, or approval from affected communities, from the outset, the invitations to meetings held by the government through the IKN Authority were more oriented towards socialization for the community. 

We must pay attention to article 15A of the IKN Law, which stipulates that one of the lands in the IKN originates from community-owned land, including “land controlled by rightful parties, by the provisions of land regulation.”  Thus far, the approach taken by the government has been excessively regulatory and top-down. Suddenly, laws regarding the IKN emerged, delineating its geographical coordinates. Society has merely been positioned as objects in development rather than subjects; they have never been involved.

This has made policies vulnerable to not aligning with the factual conditions faced and desired by the affected communities. Therefore, what is currently required by the government to mitigate the occurrence of land conflicts arising from land acquisition for projects in the National Capital City region is to prioritize a humanistic approach.

Despite all-out efforts by the government to attract investors’ attention to the project, they will face significant challenges. Few individuals would dare to invest in land embroiled in conflict. Investors adhere to increasingly stringent Environmental, Social, and Governance (ESG) standards, especially in developed countries. Thus, land conflicts will significantly influence investors’ commitment to participate in the IKN development process. The government’s political will is genuinely expected to be grounded alongside the affected community—particularly indigenous communities who have long regarded the development area of the National IKN as vital for their livelihoods.


*Artikel ini pernah terbit di The Jakarta Post edisi Rabu tanggal 20 Maret 2024 dengan judul “Nusantaracapital city land clearance scares native inhabitants, investors”

Older Posts Home

singgalamaibookshop

singgalamaibookshop

Populer post

Jawaban Islam Atas Kegelisahan Feminisme Barat

ABOUT

Tempat menulis secara deskriptif ataupun analitis, tentang segala macam hal. Konon, bualan sehebat apapun tanpa rekam tulisan akan sirna seiring hapusnya kenangan. Sementara, corat-coret tak berguna akan tetap abadi selama rezim tidak memblokadenya.

Categories

  • Home
  • Agama
  • Bincang Buku
  • Pendidikan dan Kebudayaan
  • Polhukam
  • Sejarah dan Pergerakan
  • Travjoy

Contact form

Name

Email *

Message *

Designed By Goresan Intelektual | Distributed By Goresan Intelektual