...semangat dari Peraturan Menteri LHK No. 10 Tahun 2024 penting untuk dirawat...
Satu dekade
terakhir berbagai peristiwa kriminalisasi terjadi terhadap aktivis maupun warga
yang memperjuangkan hak untuk memanfaatkan serta mempertahankan kelestarian
sumber daya agraria di sekitar mereka. Dimulai dari kasus Salim Kancil,
September 2015 silam, yang tewas dikeroyok setelah gigih menolak penambangan
pasir di desanya. Penambangan tersebut mengakibatkan saluran irigasi persawahan
rusak. Setelah peristiwa itu, eskalasi kriminalisasi dan intimidasi terhadap
aktivis maupun warga yang memperjuangkan ekosistem lingkungannya semakin
meningkat.
Rasa-rasanya baru
kemarin tiga masyarakat adat Sihaporas di Sumatera Utara ditangkap saat sedang
terlelap pada malam bulan Juli 2024. Begitu pula dengan vonis bersalah hakim
Pengadilan Negeri Jepara terhadap aktivis lingkungan Karimunjawa, Daniel Frits
Maurits Tangkilisan, pada April 2024 lalu. Sementara, oktober 2023 aksi unjuk
rasa Masyarakat Desa Bangkal di Kalimantan Tengah bentrok dengan ‘aparat
keamanan,’ Gijik yang merupakan salah satu peserta unjuk rasa tewas setelah
menerima luka tembak di bagian dada.
Itu bukan kali
pertama aparat keamanan terlibat bentrok dengan warga yang memperjuangkan
haknya. Sebulan sebelum peristiwa Desa Bangkal di Kalimantan Tengah, September
2023, gas air mata dilepaskan oleh aparat keamanan ke arah pemukiman warga
Rempang, Kepulauan Riau, dalam agenda pengosongan tanah adat masyarakat untuk
kepentingan pembangunan Proyek Strategis Nasional. Gas air mata itu bersarang hingga
ke area sekolah dasar dan sekolah menengah pertama pada saat jam belajar sedang
berlangsung, akibatnya sepuluh siswa dan seorang guru dilarikan ke rumah sakit.
Untuk mengatasi
agar peristiwa serupa tidak terulang lagi, pada 30 Agustus 2024, Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) secara progresif menerbitkan Peraturan
Menteri LHK No. 10 Tahun 2024 tentang Pelindungan Hukum Terhadap Orang yang
Memperjuangkan Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat. Melalui peraturan
menteri ini diharapkan kriminalisasi dan intimidasi terhadap aktivis dan warga yang
memperjuangkan kelestarian ekosistem lingkungan hidup tidak terulang lagi.
Namun, peraturan menteri ini jika ditilik lebih jauh menghadapi berbagai
tantangan yang berpengaruh pada efektifitas pelaksanaannya di lapangan.
Pertama, Peraturan
Menteri LHK No. 10 Tahun 2024 belum tentu berjalan efektif di ranah pidana. Hal
ini disebabkan peraturan tersebut tidak dapat membatasi atau memperluas tugas
dan wewenang kepolisian yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kepolisian tidak
tunduk secara langsung pada Peraturan Menteri, kecuali sudah diterjemahkan ke
dalam peraturan yang relevan dengan tugas-tugas kepolisian. Peraturan yang
dapat secara langsung mengikat atau mengatur kepolisian harusnya berupa
peraturan yang memiliki kekuatan lebih tinggi dari sekadar Peraturan Menteri
atau setidaknya berasal dari lembaga yang lebih relevan, misalnya Peraturan
Presiden atau Peraturan Kapolri.
Kedua, perlindungan
hukum yang seharusnya merupakan kewajiban pemerintah dihadapkan pada urusan
birokrasi yang rumit. Peraturan Menteri LHK No. 10 Tahun 2024 mengharuskan
kepada warga atau aktivis yang ingin memperoleh perlindungan hukum untuk
mengajukan permohonan kepada Menteri LHK (Pasal 9 dan 10). Setelah memperoleh
permohonan sesuai format yang telah dilampirkan, berkas permohonan tersebut
selanjutnya dinilai oleh tim penilai yang terdiri dari berbagai kalangan,
seperti; kementerian, aparat penegak hukum, kementerian/lembaga terkait,
pemerintah daerah, akademisi/ahli, dan unsur terkait lainnya. Tim penilai ini
melakukan verifikasi dan validasi dokumen permohonan, menilai permohonan, serta
menyampaikan hasil penilaian kepada Menteri (Pasal 11).
Ketentuan-ketentuan
yang menekankan pada aspek birokrasi-administratif dalam Peraturan Menteri LHK
No. 10 Tahun 2024 telah menggeser paradigma hak asasi manusia atas lingkungan
hidup. Dalam paradigma hak asasi manusia, memperoleh ekosistem lingkungan hidup
yang baik dan bersih merupakan hak asasi masyarakat yang harus dipenuhi (fulfill) pemerintah secara
bertanggungjawab. Selanjutnya, dalam hal menjaga serta melindungi kelestarian
ekosistem lingkungan hidup pemerintah harus bertanggungjawab melindungi (protect) dan menghormati (respect) setiap langkah politik hukum
yang ditempuh oleh warga maupun aktivis lingkungan.
Karena memperoleh
perlindungan hukum dari ikhtiar menjaga kelestarian lingkungan merupakan hak
asasi, harusnya masyarakat tidak dihadapkan pada urusan birokrasi-administratif
yang rumit. Selain itu, memusatkan semua kewenangan kepada Menteri bakal
berdampak pada rendahnya efektifitas pemberian perlindungan hukum bagi warga
atau aktivis. Ditambah lagi, tidak ada ruang keterlibatan secara bermakna bagi
pemohon atau warga maupun aktivis dalam proses penilaian permohonan.
Ketiga, tantangan
dari Undang-Undang sektoral lainnya. Selain memiliki persoalan dari sisi
hirarki di mana Peraturan Menteri berada di bawah Peraturan Presiden, Peraturan
Pemerintah, dan Undang-Undang, keberadaan ketentuan pada Undang-Undang sektoral
yang memungkinkan terjadinya kriminalisasi terhadap aktivis dan warga yang
memperjuangkan haknya juga akan melemahkan kekuatan berlaku dari Peraturan
Menteri LHK No. 10 Tahun 2024. Misalnya, Pasal 73 dan Pasal 74 Undang-Undang
No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi mengatur setiap orang yang dengan sengaja
menghalangi atau merintangi pengusahaan sektor yang dimaksud diancam dengan
pidana penjara. Ketentuan yang sama juga ditemukan dalam Pasal 162
Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 jo.
Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dari dua rezim Undang-Undang
tersebut, setiap upaya aktivis dan warga untuk mempertahankan haknya atas
lingkungan yang baik dan sehat sering kali dianggap sebagai tindakan antagonis
yang menghalangi dan merintangi pengusahaan sektor tertentu, sehingga mereka
dengan gampang dijebloskan ke dalam penjara. Paling mudah lagi, ketika warga
atau aktivis menyuarakan protes di media sosial. Mereka dengan enteng diseret
ke meja penyidik melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, seperti kasus yang dialami Daniel Frits Maurits
Tangkilisan.
Dengan demikian,
rumusan perlindungan hukum warga atau aktivis yang memperjuangkan hak atas
lingkungan hidup yang baik melalui Peraturan Menteri LHK No. 10 Tahun 2024
belum tentu berpengaruh secara signifikan. Peraturan tersebut dihadapkan pada
regulasi sektoral yang secara hirarki berada jauh di atasnya, sehingga ada dua
asas hukum yang berpotensi meluluhlantakkan norma-norma baik yang ada di
dalamnya, yakni asas lex superior derogat
legi inferiori (peraturan yang lebih tinggi menyampingkan peraturan yang
lebih rendah) dan asas lex specialis
derogat legi generalis (peraturan yang khusus mengesampingkan peraturan
yang umum).
Terakhir, semangat
dari Peraturan Menteri LHK No. 10 Tahun 2024 penting untuk dirawat. Agar
kekuatan mengikatnya lebih luas dan tegas, maka perlu diatur secara khusus oleh
regulasi setingkat Undang-Undang atau setidaknya melalui Peraturan Pemerintah. Selain
itu, ketentuan-ketentuan mengenai perlindungan hukum bagi aktivis dan warga
yang berjuang mempertahankan keberlanjutan ekosistem lingkungan dan sumber daya
agraria harus disusun lebih praktis sesuai paradigma hak asasi manusia.
Kepolisian juga diharapkan segera merespon upaya demokratisasi aktivis dan
warga yang memperjuangkan hak asasi mereka atas lingkungan yang baik dan sehat
dengan merumuskan peraturan operasional di level internal.
*Artikel ini pernah terbit di
Koran Tempo edisi Jum’at tanggal 13 September 2024 dengan judul yang sama,
“Basa-basi Aturan Perlindungan Hukum Aktivis Lingkungan”