ilustrasi gambar: dokumentasi penulis
Oleh: Retno Widiastuti
terdapat penjelasan yang menyatakan bahwa kebenaran dan manfaat adalah terpisah satu sama lain (partikular), secara universal keduanya saling berkaitan.
Buku ini merupakan kumpulan dari sepuluh ceramah Ustaz Syahid
Ayatullah Murtadha Muthahari yang terdiri atas Epistemologi Menurut Pandangan
Al-Qur’an; Instrumen Pengetahuan; Sumber Pengetahuan; Tahapan dan Tingkatan
Pengetahuan; Mekanisme Generalisasi Pengetahuan Indrawi; Pengetahuan Melalui
Tanda; Alam Bawah Sadar dan Pengetahuan Melalui Tanda; Pengetahuan Hakiki;
Kajian Terhadap Pelbagai Definisi Hakikat dan Eksperimen; serta Kritik Tepat
Terhadap Eksperimen.
Epistemologi Menurut Pandangan Al-Qur’an
Nazhariah al-ma’rifah (epistemologi) berarti masalah
pengetahuan atau teori pengetahuan yang digunakan sebagai bentuk
pemikiran/landasan dalam tiap aktivitas individu juga sebagai jargon aliran dan
ideologi. Sandaran dan dasar dari berbagai ideologi adalah pada pandangan dunia
yang mana merupakan bentuk dari sebuah kesimpulan, penafsiran, dan hasil kajian
pada seseorang yang berkenaan dengan alam semesta, manusia, serta masyarakat
dan sejarah. Ideologi mengajak manusia pada suatu tujuan tertentu. Pandangan
dunia akan memberitahu kita mengenai apa ‘yang ada’ dan apa ‘yang tidak ada’,
ketentuan, dan hukum-hukum apa saja yang berlaku pada alam dan manusia,
hukum-hukum apa yang berlaku pada masyarakat, kemana arah gerakan yang ada,
bagaimanakah gerakan alam ini, serta apa hakikat dan keberadaan ini. Sehingga,
ideologi adalah nikmat amali (ilmu praktis) dan pandangan dunia adalah nikmat
nadzari (ilmu teoritis).
Bentuk pandangan dunia itu berbeda-beda karena pengetahuan alam
yang berbeda-beda. Dunia yang penuh dengan berbagai fakultas, isme, dan
ideologi, yang kesemuanya berlandaskan pada “pandangan dunia” dan pandangan
dunia itu berpijak pada epistemologi lah, maka menyebabkan
epistemologi/pengetahuan itu menjadi penting/urgen.
Agnostisisme merupakan kodrat, ketentuan, dan nasib manusia yang
tidak dapat diubah. Begitu halnya dengan Pyrho yang mengatakan bahwa tidak
mungkin mejadikan rasio dan indra sebagai sumber pengetahuan. Juga Ilmuan
Muslim Al-Ghazali, ilmuan Descartes yang mengalami masalah dalam memahami
keyakinan pengetahuan. Mereka meragukan segala sesuatu kecuali keraguannya,
“... saya tidak ragu bahwa saya sedang merasa ragu.”
Mungkinkah manusia memiliki kemampuan untuk memahami dan
mengetahui? Suatu pengetahuan dapat disebut sebagai pengetahuan yang hakiki
jika di situ tidak terdapat sedikitpun keraguan, tetapi bila terdapat keraguan,
maka ia menjadi la’adri (saya tidak tahu).
“Pada sebagian pengetahuan yang dimiliki manusia terdapat
kekeliruan, juga pasti terdapat kebenaran pada sebagiannya.” Dengan menggunakan
epistemologi yang benar, kita melakukan koreksi pada epistemologi yang salah,
dari situlah muncul ilmu Logika (Mantiq). Logika = ilmu, asas
pengetahuan, sehingga dibutuhkan neraca untuk menimbang dan memisahkan antara
pengetahuan yang salah dan yang benar.
Kita mesti melihat apa yang dikatakan Al-Quran; Apakah pengetahuan
itu mungkin atau tidak mungkin? Apakah pengetahuan itu boleh atau tidak boleh?
Penyimpangan sejarah paling merugikan di dalam penyimpangan Kitab
Taurat tentang kisah nabi Adam as. di sana (Kitab Taurat) disebutkan bahwa
pohon yang tidak boleh didekati oleh Adam adalah berhubungan dengan sisi
kemanusiaan dan bukan berhubungan dengan sisi kebinatangan. Bagi Adam, terdapat
dua kesempurnaan sekaligus, yaitu kesempurnaan pengetahuan dan kekelalan di
surga. Akhirnya muncullah kontradiksi antara pengetahuan dan agama, dan hal itu
adalah keliru. Di dalam Al-Quran menceritakan, bukan karena memakan buah maka
mata Adam terbuka akan pengetahuan, tetapi sejak awal diciptakannya, ia adalah
seorang manusia, maka ia memiliki pengetahuan, epistemologi, serta memahami dan
mengetahui berbagai hakikat. Ia dikeluarkan dari surga karena ia telah keluar
dari sisi kemanusiaan. Dengan ilmu dan pengetahuan yang ia miliki, ia masih
terpedaya hawa nafsu, Allah menegaskan bahwa surga adalah tempat untuk manusia,
dan Adam telah keluar dari kemanusiaan dan diturunkan dari surga.
Pengetahuan melahirkan “pandangan dunia”, “pandangan dunia”
melahirkan ideologi, dan ideologi perlu pengamalan. Seorang manusia dituntut
untuk memiliki ketakwaan dan kekuatan untuk menahan diri. Dengan demikian,
Al-Quran tidak melarang penggalian pengetahuan, tetapi bahkan mendukung
pengetahuan. “Katakanlah: “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.”
(Q.S. Yunus: 101)
Al-Quran menyebutkan bahwa manusia memberikan kesaksian terhadap
dirinya sendiri, menunaikan kesaksian (ada’ asy-syahadah) dan menanggung
kesaksian (tahammul asy-syahadah). Mengenal diri dan mengenal Tuhan telah
bercampur menjadi satu, “Barang siapa mengenal dirinya, ia telah mengenal
Tuhannya.” Allah memerintahkan, “Wahai manusia! Lihatlah dirimu!” Ketika mereka
telah melihat diri mereka, lalu Allah berfirman, “Bukankah Aku ini Tuhanmu.”
Sebegitu dekatnya antara pengenalan diri dengan pengenalan Tuhan, laksana
seseorang yang memandang sebuah cermin. Jadi, kemungkinan untuk memperoleh
pengetahuan adalah pasti.
Instrumen Pengetahuan
Apa sajakah instrumen pengetahuan? Di antara alat atau instrumen
yang dimiliki manusia untuk memperoleh pengetahuan adalah “indra” (penglihatan,
pendengaran, dan perabaan). Aristoteles mengungkapkan, ‘Barang siapa yang
kehilangan satu indra, maka ia akan kehilangan satu ilmu,” (man faqada hissan
faqad faqada ‘ilman). Dalam memperoleh pengetahuan (aktivitas rasio), manusia
memerlukan pemilahan (tajziah) dan penguraian (tahlil). Kategori
dalam pengetahuan adalah keharusan. Kategorisasi merupakan altivitas rasio dan
pemikiran, serta merupakan penguraian dan pemilahan yang sifatnya rasional (‘aqli).
Kita merasakan segala sesuatu itu berbentuk partikular (juz’i) dan
kemudian kita buat suatu bentuk pengelompokan yang sifatnya general (‘am)
dan universal (kulli).
Di antara aktivitas rasio yang luar biasa adalah melepas (tajrid).
“Tajrid” ialah dalam rasio kita tengah berlangsung proses melepas dua
perkara yang mana pada alam objektif ini hanya berupa satu perkara, yang tidak
mungkin dapat dipisah-pisahkan, dan tidak mungkin dapat berpisah. Seandainya
rasio tidak memiliki kemampuan men-tajrid, maka tidak mungkin memiliki kemampuan
berpikir. Sehingga, selain indra, syarat lain dari instrumen pengetahuan adalah
kekuatan rasio (‘aql).
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati
agar kamu bersyukur,” (Q.S An-Nahl: 78). Setelah mata dan telinga, kemudian
disebutkan hati, yakni suatu kekuatan yang mampu untuk memilah (tajziahi)
dan melepas (tajrid); suatu kekuatan yang memiliki peran yang amat
penting dalam pengetahuan. Selanjutnya, kata syukur (syukr) amatlah
penting. Bersyukur artinya menghargai, maka Allah juga disebut dengan Syakur
(Maha Menghargai). “Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang yang
berbuat baik,” (Q.S At-Taubah: 120)
Sedang yang dimaksud dengan hamba yang Syakur yakni seorang
hamba yang telah memperoleh berbagai kenikmatan dan kemudian menghargai
kenikmatan itu. Bersyukur ialah menggunakan berbagai kenikmatan yang diberikan
oleh Allah pada hal-hal yang merupakan tujuan Allah dalam menciptakan
kenikmatan itu. Bersyukur atas mata itu adalah memerhatikan dan mengkaji alam.
Bersyukur atas telinga ialah mendengarkan berbagai kebaikan. Bersyukur atas
hati ialah berpikir, merenungkan, memilah, dan menguraikan (tajziah wa
tahlil), melepas (tajrid), menggeneralkan, serta berargumentasi.
Salah satu dari alat-alat pengetahuan adalah hati menurut istilah
irfan atau qalb, bukan hati menurut istilah Al-Quran. Maksud melalui hati ialah
dengan melakukan penyucian hati/jiwa. Al-Quran tidak mengatakan bahwa alat
pengetahuan hanya indra dan rasio, juga tidak mengatakan bahwa alat pengetahuan
itu hanya hati, akan tetapi mereka memiliki tempat yang berbeda-beda.
Sumber Pengetahuan
Manusia memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan. Hal
ini memunculkan pertanyaan “Darimana dan apa sumber dan dengan instrumen apa
manusia dapat memperoleh pengetahuan?”
Alam semesta merupakan salah satu sumber pengetahuan. Alam adalah
alam materi, alam ruang dan waktu, alam gerakan, alam yang kini kita hidup di
dalamnya, serta kita memiliki hubungan dengan alam ini dengan menggunakan
berbagai indra kita.
Ilmuan yang tidak mengakui alam sebagai sumber pengetahuan adalah
Plato, Descartes. Selebihnya menyetujui. Filsuf adalah seorang yang memiliki
bentuk pemikiran bebas, terbuka, dan pemikirannya bukan berasal dari dikte. Ia
akan mengatakan sesuatu yang ia ketahui dan pahami, sekalipun hal itu
bertentangan dengan dasar pemikiran dan keyakinannya. Pengetahuan ialah suatu
yang dapat memberi kita kekuatan dan tenaga praktis atau suatu yang dapat
menunjukkan suatu hakikat, tentu tidak ada lagi keraguan padanya.
Sumber lain dari pengetahuan adalah kekuatan rasio dan pikiran
manusia. Sumber ketiga adalah hati (jiwa). Instrumen pengetahuan pertama adalah
indra, dengan ini manusia memperoleh pengetahuan dari alam materi. Kedua,
berbagai argumen logika, argumen yang rasional – yang dalam ilmu logika disebut
dengan qiyas (silogisme) atau burhan (demonstrasi). Alat untuk sumber
pengetahuan hati adalah penyucian hati “tazkiyah an-nafs”.
Pada dasarnya, Al-Quran tidak memisahkan antara bagian luar dan
dalam diri. Umumnya, perjalanan maknawiyah diawali dengan maknawiyah dan
akhiri dengan maknawiyah, sementara perjalanan materi awalnya materi dan
akhirnya pun juga materi, tetapi Al-Quran mengungkapkan suatu mukzizat dengan
menyatakan bahwa manusia dapat melakukan dua macam hijrah; hijrah materi dan
hijrah maknawiyah. Al-Quran tidak memisahkan keduanya. (Q.S An-Nisa: 100)
Najh Al-Balaghah menyifati seorang arif yang telah melakukan
penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs) bahwa mereka adalah orang yang
menghidupkan rasionya, mematikan nafsu amarahnya, mempertipis
kesalahan-kesalahannya, baik kesalahan jasmani maupun kesalahan rohani.
Menurut Al-Quran, selain alam, rasio, dan hati, terdapat sumber
pengetahuan lain yaitu sejarah. Sejarah adalah kumpulan masyarakat yang tengah
berjalan dan bergerak. Sejarah merupakan bahan kajian.
Tahapan dan Tingkatan Pengetahuan
Terdapat banyak pandangan mengenai berapa tahap dan tingkatan
pengetahuan. Ada yang berpendapat hanya satu tahap, yaitu Descartes. Ada pula
yang berpandangan bahwa esensi pengetahuan adalah indra murni dan mereka tidak
mengakui fungsi rasio. Orang-orang empiris mengatakan bahwa pengetahuan adalah
indra dan secara esensi adalah indrawi. Tokoh lainnya adalah John Locke, Plato,
dan Bergson; yang menganggap pengetahuan hanya satu tahap.
Mekanisme epistemologi ‘Irfani yakni sumber pengetahuan adalah
hati dan alatnya ialah penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs). Jika manusia
melakukan penyucian jiwa, maka pandangan rasionya akan menjadi lebih terang.
Para Filsuf Eropa antara lain Kant dan Hegel berpendapat bahwa
pengetahuan itu memiliki beberapa tahapan. Kant meyakini pengetahuan yang
berdasarkan pada dua tahapan, pertama takhayyuli yaitu tahap di mana hal-hal
yang indrawi masuk pada gambar tempat dan waktu, dan tahap kedua adalah tahap
dua belas kategori.
Hegel berpandangan bahwa pengetahuan juga memiliki dua tahapan,
yaitu tahap ilmiah dan tahap filsafat. Spencer seorang filsuf Inggris,
pengetahuan ada tiga tahap yaitu indrawi, ilmiah, dan filsafat. Menurut
pendukung Materialis Dialektika, pengetahuan itu ada tiga tahapan, yaitu ihsas
(indrawi), ta’aqqul (penggunaan rasio), dan ‘amal (praktik).
Ta’aqqul adalah tahap penemuan sebuah dasar
yang universal, sebuah hipotesis yang universal, yang merupakan lanjutan dari
berbagai pengamatan, pengkajian dan penggunaan indra. Eksperimen merupakan
tahap terakhir pengetahuan. Pengetahuan menurut Filsuf Muslim adalah
pengetahuan dengan menggunakan rasio (ta’aqqul) yang bukan
eksperimental. Jenis pengetahuan ini berawal dari indra, berakhir dengan
penggunaan rasio, serta tidak perlu pada tahap praktik dan uji coba.
Salah satu ciri khusus pengetahuan indrawi adalah partikular dan
satu persatu. Ciri kedua ialah lahiriah, tidak dalam, dan material. Pengetahuan
indrawi tidak dapat mengetahui hubungan sebab dan akibat. Ciri ketiga adalah
bersifat “sekarang”, bukan masa lampau atau masa yang akan mendatang. Ciri
keempat adalah jenis pengetahuan ini berhubungan dengan suatu
lingkungan/kawasan tertentu, yakni terbatas pada suatu kawasan tertentu.
Aktivitas pengetahuan manusia yang terbesar ialah munculnya
masalah hubungan-hubungan (qara’in) dan tanda-tanda (ayah). Al
Quran menyebutnya dengan “tanda dan yang memiliki tanda” (ayat wa dzil ayat).
Manusia dalam berpikir dan memperoleh pengetahuan lebih besar peran unsur-unsur
rasional, sampai seakan-akan unsur indrawi tenggelam dalam unsur-unsur
rasional.
Mekanisme Generalisasi Pengetahuan Indrawi
Setelah melewati tahap indrawi, maka rasio dan akal yang ada dalam
jiwanya mengantarkan indrawi menuju rasional, mengangkat pengetahuan indrawi,
serta sederhana sampai mencapai pengetahuan logika (mantiq) dan
pengetahun mendalam (‘umqi). Tahap pertama pengetahuan adalah akibat (ma’lul) dari
hubungan langsung antara alat indra dengan alam objektif, sehingga tidak akan
muncul sanggahan atau keraguan. Tahap berikutnya adalah tahap berpikir (tafakkur),
tahap pengetahuan logika.
Kaum Marxis menemukan cara penyelesaian di mana mereka menyadari
bahwa pengetahuan indrawi adalah sederhana yang merupakan akibat (ma’lul)
dari hubungan langsung antara indra, alam nyata, dan dalam rasio, otak dengan
perantaraan hukum “melintas dari kuantitas menuju kualitas”, kemudian berubah
menjadi pengetahuan logika. Ketika esensi pengetahuan berubah, maka itu bukan
lagi pengetahuan.
Filsuf besar Islam, Shadrul Muta’allihin (Mulla Sadra) memaparkan
pandangannya yang disebut “pandangan puncak” (nazhariah ta’ali). Sedang
Ibn Sina dan Khajah Nashirudin menyelesaikannya dengan “Pada setiap tajribah
(eksperimen) terdapat satu qiyas yang tersembunyi”. Felicien Challaye
mengungkapkan, “Rasio manusia menghukumi bahwa alam selalu melintasi arus yang
sama bentuknya”. Aktivitas rasio adalah hanya memperluas dan memberi keluasan
pada lingkaran pengetahuan.
Pengetahuan Melalui Tanda
Ibarat cermin, jika rasio manusia tidak berwarna (netral), maka ia
akan melihat objek itu sesuai dengan apa yang ada dan tatkala ia melakukan
suatu kajian, maka ia akan melihat segala sesuatu itu sebagaimana adanya. Akan
tetapi, jika rasio manusia itu berwarna, maka ia akan melihat segala sesuatu
memiliki warna yang sama dengan warna rasionya. Jika telah muncul fanatisme dan
kecintaan, maka manusia tidak akan dapat melihat sesuatu sebagaimana adanya.
Begitu pula dengan kebencian. Sehingga keduanya, kecintaan dan kebencian,
merupakan penghalang. Al Quran menegaskan bahwa manusia dalam usaha memperoleh
pengetahuan diperlukan kebersihan pemikiran dan jiwa dari warna apapun, yakni
tidak terdapat suatu bentuk penyakit, ambisi, dan tujuan. Perbedaan antara
cermin dan rasio ialah cermin hanya memantulkan gambar, sedangkan ma’ani-nya
(non-materinya) tidak dapat dipantulkan, sedang rasio manusia mampu untuk
mengetahui ilmu, rasa cinta, dan rasa benci yang ada pada diri orang yang di
hadapannya, yakni mengetahui hal-hal yang nin-materi.
Perbedaan lainnya yang lebih penting, terkadang cermin memantulkan
sesuatu, tetapi tidak sesuai realitas, sedang rasio mampu mengetahui
kesalahannya dan memahami bahwa telah melakukan suatu kesalahan serta membenahi
kesalahannya. Rasio selain mengetahui suatu objek, juga mampu mengetahui
dirinya, yakni mengenal diri sendiri.
Rasio dapat memantulkan segala yang ada di hadapannya sampai tidak
terbatas. Rasio tidak ubahnya semacam cermin tiga dimensi.
Jenis epistemologi logika seperti yang diungkapkan oleh Al-Quran
dengan ayat (tanda). Sebagaimana ayat ini, “Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan
warna kulitmu” (Q.S Ar-Rum:22). Untuk itu, sebagian besar pengetahuan kita juga
bergantung pada suatu tanda-tanda dan bekas-bekas.
Alam Bawah Sadar Dan Pengetahuan Melalui Tanda
Kajian terhadap manusia dibagi menjadi dua sisi, yaitu jasmani dan
rohani. Sisi jasmani dianalisis dalam ‘ilmu kedokteran’ dan sisi rohani
dianalisis dalam ilmu jiwa (psikologi). Psikoanalisis adalah sebuah disiplin
ilmu jiwa yang berhubungan dengan “alam bawah sadar” manusia bukan dengan “jiwa
sadar”
Ciri alam bawah sadar yang pertama ialah menguasai “jiwa sadar”,
alam bawah sadar mengeluarkan sebuah perintah dan jiwa sadar akan menerimanya.
Ciri yang kedua ialah alam bawah sadar itu jauh lebih luas dari bagian jiwa
sadar.
Allah mengetahui berbagai rahasia yang tersembunyi dan mengetahui
yang lebih tersembunyi dari yang tersembunyi. Imam Ali a.s mengatakan bahwa
“yang lebih tersembunyi dari rahasia” ialah suatu yang ada pada diri manusia
dan ia tidak mengetahui ataupun lupa adanya sesuatu itu. Freud berkeyakinan
bahwa “alam bawah sadar” adalah pelarian dari “jiwa sadar”, yang pada mulanya
memiliki sisi rendah dan kebinatangan kemudian melarikan diri ke “alam bawah
sadar”. Sedangkan pandangan Jung – murid dari Freud – mengatakan bahwa berbagai
dari “alam bawah sadar” adalah fitrah dan bagian-bagian itulah yang menjadi
asas kemanusiaan; cenderung pada akhlak, peribadatan, keindahan, serta
kebenaran.
“Alam bawah sadar” memperkuat bukti yang ada bahwa berbagai
pengaruh yang terdapat dalam “alam bawah sadar” itu sama sekali tidak ada
hubungan dengan sistem urat saraf tubuh. Hal ini menjelaskan esensi jiwa. Lain
lagi, “alam bawah sadar” adalah bagian yang ghaib dalam diri manusia.
Letak beda antara ilmu dan agama, ilmu datang guna memperluas dan
menambah pengetahuan manusia, agama juga datang demi menambah pengetahuan
manusia tetapi menambah dari sisi kedalaman pengetahuan. Alam ini jika
dibandingkan dengan alam ghaib adalah amat tidak berarti, hingga segala
penemuan itu semakin menunjukkan kebesaran dan keagungan alam yang di
sana/Allah ta’ala.
Pengetahuan Hakiki
Pengetahuan terbagi ke dalam pengetahuan yang benar dan hakiki;
dan pengetahuan yang salah dan tidak benar. Ulama dan para filsuf klasik
mendefinisikan bahwa pengetahuan yang hakiki ialah pengetahuan yang memiliki
koresponden dengan realitas eksternal, atau dengan penjelasan lain adalah
sebuah pemikiran yang sesuai dengan realitas eksternal. Sedang hakikat adalah
suatu pengetahuan di pikiran orang yang sesuai dengan pengetahuan-pengetahuan
yang lain. Selain itu, terdapat definisi pengetahuan yang betul yaitu
pengetahuan yang memberikan pengaruh yang berguna pada kondisi manusia. Akan
tetapi, terdapat penjelasan yang menyatakan bahwa kebenaran dan manfaat adalah
terpisah satu sama lain (partikular), secara universal keduanya saling
berkaitan.
Al-Quran menyatakan bahwa kebenaran dapat menjadi kekal dan
meyakini kekekalan (al-haq) dan kebatilan (al-bathil) dapat
bertahan selamanya, tetapi meyakini bahwa keberadaan kebatilan hanya sementara
dan cepat berlalu.
Definisi ketiga tentang kebenaran ialah sesuatu yang merupakan
hasil daya pikiran kita dari alam objektif (tesis, anti-tesis, sintesis).
Hakikat adalah dari pertemuan alam objektif dengan alam pikiran. Hakikat itu
relatif.
Definisi hakikat menurut kaum Materialis dan sebagian kaum Filsuf
ialah setiap bentuk pengetahuan yang didukung oleh eksperimen dan praktik, jika
tidak maka ia bukan hakikat.
Ulama Islam berkeyakinan bahwa neraca pengetahuan itu selalu dari
jenis pengetahuan pula, yakni ilmu pengetahuan adalah neraca bagi ilmu pengetahuan.
Sedang ulama modern mengatakan bahwa ilmu itu bukan merupakan neraca bagi suatu
ilmu, tetapi eksperimen adalah neraca bagi suatu ilmu.
Islam tidak mengakui eksperimentasi sebagai satu-satunya alat uji
dan neraca untuk menimbang kebenaran suatu pengetahuan.
Kajian Terhadap Pelbagai Definisi Hakikat dan Eksperimen
Ulama Syiah maupun ulama Ahlusunah menganggap ijma’ itu
merupakan sebuah hujah yang dapat dipegangi. Perbedaannya yakni kesepakatan
para ulama mereka memiliki maudhu’iyyat (berbagai topik) tertentu, ulama
Ahlusunah meyakini jika suatu masa ulama Islam memiliki kesamaan pendapat pada
suatu masalah fiqih, misal mereka berpendapat suatu benda halal, maka benda
tersebut menjadi halal. Sedang Syiah benar-benar tidak mengakui kebenaran
kesepakatan (ijma’) ulama pada suatu hukum di suatu masa tertentu,
kecuali jika kesepakatan hukum itu masih berasal dari Imam a.s.
Setiap manusia berdasarkan esensi penciptaan adalah realis,
berpandangan riil, mencari realitas dan kebenaran, serta cenderung untuk
mengetahui nilai berbagai indra dalam menunjukkan sebuah realitas.
Pengetahuan merupakan neraca bagi pengetahuan. Pengetahuan badihi
(aksioma) adalah pengetahuan yang tanpa menggunakan neraca, “pengetahuan ibadihi
tashdiqi” adalah suatu pengetahuan dari jenis menghukumi (mengeluarkan
sebuah hukum) yang kebenarannya telah terjamin meski tanpa menggunakan neraca.
Neraca pengetahuan adalah eksperimen/praktik. Terdapat banyak
sanggahan atas pendapat tersebut. Jika pengetahuan itu benar, maka eksperimen
akan mengeluarkan hasil (benar), jika dalam eksperimen mengeluarkan hasil maka
pengetahuan itu benar (salah). Dengan kata lain, “sebuah hipotesis yang benar
akan mengeluarkan hasil yang benar” adalah ungkapan betul, sedang “suatu hipotesis
jika mengeluarkan hasil yang betul, maka hipotesis itu pasti betul” adalah
ungkapan salah.
Kritik Tepat Terhadap Eksperimen
Terdapat beberapa kritikan terkait eksperimen. Pendapat
“eksperimen merupakan neraca pengetahuan” tidak dapat diterima secara umum, ada
perkara yang tidak dapat dieksperimenkan. Eksperimen adalah sesuatu yang
memiliki sebuah wujud nyata. Sedangkan Russell berpendapat bahwa hipotesis bisa
dianggap betul apabila kita sama sekali tidak memiliki suatu dugaan adanya
suatu hipotsis yang lain.
Francis Bacon mencetuskan aliran ‘eksperimentasi” dan
‘pragmatisme”, ia mengibaratkan bahwa ilmu merupakan kekuatan.
Eksperimen bukan satu-satunya kunci pengetahuan, ia merupakan
peringkat dasar. Tahap keduanya adalah eksperimen rasio/akal dan hati, tahap
pengetahuan logika.
Perbedaan mendasar antara Islam dengan aliran Materialis yang
berkaitan dengan faktor-faktor perwujudan sejarah. Islam menyebut bahwa manusia
memiliki naluri (fitrah), ialah yang memajukan sejarah itu. Islam mengatakan,
“Aktivitas manusia dilahirkan dari nalurinya” sedangkan aliran Materialis
menyebutkan “Naluri manusia dilahirkan dari aktivitasnya”.
Dua fakultas Materialisme
yaitu Materialisme Dialektika dan Eksistensialisme tidak mengakui adanya
fitrah.
0 comments