Benarkah HMI Menolak Pancasila? Bagian 1: Keadaan Rezim dan Kongres Perjuangan Tahun 1983
ilustrasi gambar: tirto.id
Oleh: MHD. Zakiul Fikri
pada masa Orde Baru berkuasa, seringkali ditemui paket politik yang mendiskreditkan umat Islam.
Berakhirnya pemerintahan Orde Lama di bawah komando Soekarno tidak
lepas dari peran HMI dan aktor-aktor Islam lainnya, baik individu atau pun
kelompok organisasi. Sebab, sudah menjadi konsumsi sejarah yang sifatnya umum
bahwa periode 1960-an awal hingga pertengahan ialah periode bertarungnya
organisasi kemasyarakatan Islam, khususnya HMI, dengan kelompok-kelompok
sosialis-komunis. Dengan demikian, bukanlah suatu yang berlebihan bila HMI
disebut sebagai bagian yang ikut menjadi “orang tua” dalam melahirkan rezim
Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto.
Hasanuddin M. Saleh mengatakan Orde Baru yang juga
ditulangpunggungi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) lahir dengan
dukungan penuh umat Islam. Sejarah mencatat umat Islam berada di garda terdepan
dalam proses peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru pada pertengahan
1960-an tersebut. Namun, dalam perjalanan selanjutnya rezim Orde Baru
mengembangkan tujuannya sendiri dan meletakkan kepentingn umat Islam dalam
posisi subordinat, bahkan direkayasa sedemikian rupa sehingga tidak menghalangi
kepentingan nafsu angkara rezim yang berkuasa.[1]
Untuk memuluskan jalannya kepentingan kekuasaan, Orde Baru senantiasa
menggunakan ABRI lewat kebijakan dwifungsi sebagai mesin kekuasaan. Tidak hanya
ABRI, tatanan birokrasi yang dijalankan oleh kelompok kekaryaan yang bernama
Golongan Karya (Golkar) juga menjadi bagian dari mesin kekuasaan lain yang
digunakan pemerintahan Orde Baru. Selain dua komponen itu, pemerintahan Orde
Baru juga mengandalkan peran para konglomerat. Maka sangat lazim apabila selama
pemerintahan ini berlangsung, Indonesia menjelma menjadi surga bagi investor
asing dan para kroni kapitalis domestik. M. Busyro Muqoddas menggambarkan tiga
kekuatan penopang Orde Baru ini sebagai berikut:[2]
(Kekuatan
Penopang Orde Baru)
Sumber: M. Busyro Muqoddas
Tiga mesin kekuasaan di atas mempunyai fokus masing-masing. Mesin
pertama digunakan untuk menaklukkan kekuatan-kekuatan kritis di masyarakat dan
membungkam gerakan-gerakan protes serta perlawanan atas kebijakan pemerintahan
Soeharto. Mesin kedua menjalankan tugas kekuasaan monolitik dengan strategi
kebijakan pembangunan atau developmentalisme. Sementara itu, mesin
ketiga berfungsi sebagai sarana pembiayaan semua agenda kebijakan yang sudah
terencana dan tersusun sedemikian rupa. Tiga kekuatan itulah yang menegakkan
kekuasaan yang bercorak otoriter! Demikian menurut M. Busyro Muqoddas.[3]
Menurut Syafinuddin al-Mandari sudah menjadi watak kekuasaan yang
dibangun di atas nilai-nilai buruk, yang disebutnya tiranik, untuk melindungi
kebijakan-kebijakannya dengan paket-paket politik yang orientasinya memisahkan
kekuatan politik lain dari potensi-potensi yang dimiliki. Ia menarik benang
sejarah sebagai analogi guna memperkuat pernyataannya, Yazid memisahkan
penduduk kufah (yang semula mendukung Imam Husein) dengan semangat
keberaniannya, Inggris memisahkan warga India dari akar-akar budaya, Snouck
Horgronje memisahkan umat Islam Indonesia dari semangat jihadnya. Berdasarkan
susunan analogi itu, kemudian Syafinuddin al-Mandari berkesimpulan
faktor-faktor kekuatan yang dapat membangkitkan Islam untuk menciptakan posisi bargaining
dengan pemerintah Orde Baru harus segera direnggut dari dada kaum
pergerakan dan masyarakat Islam.[4]
Apa langkah strategis yang dilakukan rezim Orde Baru dalam
merekayasa agar tersubordinatnya kepentingan umat Islam? Atau strategi apa yang
dilakukan dalam merenggut kekuatan kebangkitan Islam dari kaum pergerakan dan
masyarakat Islam oleh rezim otoriter Orde Baru? Menurut M. Busyro Muqoddas guna
menekan kekuatan Islam, bahkan merampok kekuatan Islam, Soeharto menerapkan
strategi picik terhadap kelompok Islam melalui tiga pola.
…Pertama,
Soeharto melakukan diskriminasi politik. Presiden kedua RI itu mengambil
kebijakan penentuan calon wakil rakyat dari kelompok muslim yang bermaksud
megikuti Pemilihan Umum melalui proses seleksi Intelijen Militer. Bagi mereka
yang menolak maka dianggap tidak loyal pada Pemerintahan yang sah. Kebijakan
itu berdampak pada banyak calon wakil rakyat dari Parmusi yang dianggap sebagai
simpatisan Masyumi yang kemudian tidak bisa diikutkan Pemilu. Partai inilah
yang paling menderita karena melalui skrining ini membuat 75% dari
calon-calonnya itu ditolak oleh Pemerintah…
Kedua,
Soeharto mendekati kelompok Islam dengan mulai menghidupkan jaringan Darul
Islam melalui Letnan Kolonel Ali Moertopo, seorang kepercayaan Soeharto melalui
Operasi Khusus (Opsus). Di bawah Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban yang
menjabat sebagai salah satu perwira di BAKIN. Opsus terhadap mantan DI/TII
diharapkan memberikan dukungannya untuk Sekretariat Bersama Golongan Karya
(Sekber Golkar). Ali Moertopo melakukan operasi Opsus untuk memecah belah
Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) wadah aspirasi politik golongan Islam
modernis dengan basis massa dari bekas-bekas Partai Masyumi, lembaga lain
seperti GUPPI (Gabungan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam), yang merupakan
organisasi massa Islam tradisional. Soeharto menilai Umat Islam merupakan salah
satu kantong potensial yang akan menyubangkan suara Pemilu 1971 karena
mayoritas penduduk beragama Islam. Pengakuan K.H. Kholid Sumadi yang diminta
oleh Kepala Staf Kodim dan menawarkan agar yang bersangkutan untuk ikut
membesarkan GUPPI, salah satu organisasi penopang Golkar, menjadi fakta menarik
tokoh Islam diharapkan menjadi bagian lingkungan kekuasaannya. Begitu juga
dengan masuknya Darul Hadist atau lembaga Dakwah Islam Indonesia dalam Partai
Golkar.
Ketiga,
disamping peran di atas, Soeharto melalui Opsus juga memanfaatkan mantan DI/TII
dengan memunculkan teror yang identik dengan kekerasan berlatar belakang agama.
Berbagai peristiwa kekerasan mampu membangun opini Islam adalah momok
menakutkan bagi masa depan Bangsa. Islam identik dengan organisasi/kelompok
seperti Komando Jihad, kelompok Imron, dan kelompok Warman yang selalu
melakukan kerusuhan maupun terror.[5]
Kepicikan pemerintahan Orde Baru bersama dengan kroninya begitu
akut terhadap kekuatan Islam. Tidak seperti pembasmian terhadap kelompok
sosialis-komunis yang dilakukan secara terang-terangan. Perlahan tapi pasti,
energi kekuatan Islam disingkirkan oleh rezim otoriter tersebut lewat rekayasa
sosial-politik. Menciptakan kelompok ‘penjahat islam’ guna membangun opini
negatif terhadap kekuatan politik umat Islam adalah fakta sejarah dari
kedzoliman pemerintahan Soeharto.[6]
Hasanuddin M. Saleh mengatakan rezim Orde Baru menggunakan
pendekatan statik dan spesial terhadap fungsi dan interpretasi agama dalam
kebijaksanaan politik, khususnya pada umat Islam. Dalam pendekatan yang
demikian yang terjadi kemudian ialah, Pertama, agama dipandang sebagai
sebuah variabel di luar variabel sosial dan politik. Kedua, prilaku
politik umat dianggap sebagai prilaku individual. Ketiga, agama
ditempatkan dalam kedudukan yang sakral dan transenden tanpa hubungan
struktural dan fungsional dengan kehidupan dan keimanan serta praktis. Keempat,
agama secara politis ditempatkan sebagai legalitas konsep dan kebijaksanaan
pembangunan. Dan Kelima, seluruh struktur kehidupan beragama dikaitkan
dengan Pancasila sebagai ideologi sosial politik dan sistem nilai kebangsaan.[7]
Lebih lanjut, pendekatan Orde Baru di atas mengakibatkan posisi
umat Islam semakin tergeser ke pinggir dalam persoalan sosial dan politik. Melihat
fenomena itu, dengan berani Hasanuddin M. Saleh mengatakan pada masa Orde Baru
berkuasa, seringkali ditemui paket
politik yang mendiskreditkan umat Islam.[8]
Umat Islam mana yang terdiskreditkan oleh rezim otoriter itu? Yakni baik
kekuatan umat Islam yang berada dalam barisan partai politik seperti Parmusi
atau pun PPP, kehidupan sosial umat Islam dengan strategi teror dan doktrin
ekstrimis, dan bahkan menjalar terhadap kekuatan muda umat Islam yang tergabung
dalam organisasi-organisasi pergerakan internal dan eksternal kampus.
Di akhir dekade 1970-an kampus-kampus dijinakkan dalam mencampuri
urusan politik melalui kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/ Badan Koordinasi
Mahasiswa (NKK/BKK). Hal ini terjadi sebab pergerakan mahasiswa dianggap dapat
menggoyahkan status quo penguasa. Mahasiswa yang selama zaman pra
kemerdekaan, bahkan hingga proses penggulingan Orde Lama, memiliki peran aktif
dalam berbagai kehidupan sosial dan politik negeri. Pasca kebijakan NKK/BKK
peran mahasiswa menjadi mandul dan lumpuh. Mahasiswa, dalam pandangan
Suharsono, terisolasi dalam kehidupan politik bahkan merasa ketakutan
bersentuhan dengannya.[9]
Dalam perjalanan selanjutnya, rezim kekuasaan Orde Baru semakin
mengganas ketika kekuatan politik, ekonomi, intelektual dan teknokrat,
birokrasi, militer, dan berbagai lini lainnya sudah semakin tergenggam. Tahap
berikutnya, oleh Syafinuddin al-Mandari, dikenal sebagai tahap pemapanan sistem
kekuasaan atau tahap deideologisasi. Ide tafsir tunggal Pancasila melalui P4
(Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) atau Eka Prasetya Panca Karsa
dimasukkan sebagai salah satu TAP MPR pada tahun 1978 yang kelak akan menjadi
stimulus munculnya ketentuan azas tunggal Pancasila.[10]
Dalam pandangan Suharsono kebijakan rezim Orde Baru agar semua Organisasi
Kemasyarakatan (Ormas) menerapkan Pancasila sebagai azas organisasi jelas
merupakan strategi yang didasarkan pada keinginan pemerintah untuk mengontrol
hak-hak politik masyarakat.[11]
Dalam ungkapan lain, Pancasila dijadikan oleh rezim yang berkuasa untuk
memperluas intervensinya ke dalam kehidupan masyarakat.[12]
Dalam keadaan rezim yang demikian biadab terhadap kekuatan umat
Islam dan kekuatan-kekuatan yang kritis terhadap pemerintah, HMI melangsungkan
kehidupan organisasinya. Sebagai salah satu organisasi kepemudaan Islam
terbesar di Indonesia ketika itu, HMI menjadi salah satu sasaran
strategis-taktis dari setting sosial-politik oleh rezim. Meski beberapa
tokoh dan kader HMI memiliki kedekatan dengan penguasa, tapi tidak sedikit pula
tokoh dan kader HMI yang kritis terhadap penguasa.[13] Kembali
mengenai isu azas tunggal Pancasila, pertama kali dipaparkan pada tahun 1982
dalam Rapat Pimpinan ABRI di Riau, lalu dipertegas pada Hari Ulang Tahun (HUT) KOPASANDA
di Cijantung, Jawa Barat pada tahun yang sama. Selanjutnya, secara formal
disampaikan pada pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 1983 di hadapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR).[14]
Semula, pasca tabayyun yang
dilakukan Pimpinan Pusat Muhammadiyah kepada Soeharto diterangkan bahwasanya
azas tunggal Pancasila hanya dimaksudkan bagi wadah kekuatan politik yaitu
Parpol dan Golkar. Kemudian, Sidang MPR tahun 1983 menegaskan keharusan azas
tunggal Pancasila bagi kekuatan sosial politik. Tafsiran kekuatan sosial
pilitik yang dimaksud sama dengan pernyataan Soeharto sebelumnya. Namun, selang
beberapa bulan kemudian, tiada hujan tiba-tiba badai isu tuntutan penerapan azas
tunggal Pancasila bagi organisasi kemasyarakatan kembali mencuat.[15]
Pada waktu HMI hendak melangsungkan bolek godang (hajatan besar),
Kongres XV di Medan, Abdul Ghafur selaku Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Republik
Indonesia yang juga merupakan alumni HMI mensyaratkan pemberian izin
pelaksanaan kongres dengan keharusan adanya jaminan kesediaan menerima azas
tunggal Pancasila pada forum kongres tersebut. Ia menghendaki HMI menjadi
pelopor dari organisasi kemasyarakatan Islam yang menerima azas tunggal
Pancasila. Sementara pada waktu itu Rancangan Undang-Undang (RUU) Keormasan
yang mengharuskan organisasi kemasyarakatan berazas tunggal Pancasila belum
ada.[16]
Akibat tuntutan pemerintah lewat Menteri Pemuda dan Olahraga itu, suasana
internal HMI menjelang Kongres XV sempat bergejolak.
Ketua Umum Pengurus Besar (PB) HMI sebagai penanggungjawab utama
forum Kongres XV di Medan, Achmad Zacky Siradj (1981-1983), diharuskan berpikir
secara cepat dan tepat agar izin pelaksanaan kongres bisa didapat. Mengingat jarak
keluarnya pensyaratan dari Menpora hanya berselang beberapa hari dari jadwal
pelaksanaan Kongres. Oleh karenanya, ia menandatangani sebuah nota kesepakatan
dengan pemerintah yang dibuat di Jakarta. Isi yang termaktub di dalam nota kesepakatan
lebih kurang menyatakan bahwa Achmad Zacky Siradj selaku Ketua Umum PB HMI
menerima Pancasila sebagai azas organisasi. Pernyataan ini saban hari disinyalir
memperuncing polemik antara pemerintah dengan HMI, sebab dianggap mengelabuhi
pemerintah yang berkuasa. Namun yang jelas, siasat beliau berhasil ‘meloloskan’
izin pelaksanaan Kongres XV di Medan.
Apa yang terjadi pada Kongres HMI XV di medan selanjutnya setelah
izin pelaksanaan kongres diberikan pemerintah? Keputusan apa saja yang
dihasilkan oleh forum kekuasaan tertinggi di HMI itu? Dengan proses perjuangan
yang tidak singkat dan ringan, Kongres XV di Medan pada akhir Mei 1983, tepatnya
di Wisma Haji Udara Pangkalan Masyhur Titi Kuning Medan Johor menghasilkan
setidaknya 11 (sebelas) keputusan yang dibacakan oleh Alex Tofani yang ketika
itu menjabat sebagai Ketua Badan Koordinasi (Badko) HMI Sumatera Utara
sekaligus sebagai Ketua Presidium Kongres.[17] Tiga
diantara beberapa keputusan krusial hasil Kongres 1983 sebagai berikut; Pertama,
tetap mempertahankan rumusan Pasal 4 AD HMI yang berbunyi “Organisasi ini
berdasarkan Islam”.[18] Artinya,
rumusan Pasal 4 AD HMI final bagi HMI dan menjadi amanah yang harus
diperjuangkan oleh kepemimpinan selanjutnya.
Kedua, melakukan penafsiran kembali
terhadap materi Azas, Tujuan, Usaha dan Sifat (ATUS) dalam AD HMI yang lebih
refresentatif guna menggantikan tafsir yang selama ini digunakan, yakni
Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP).[19] Muhammad
Chaeron AR, Ketua Umum HMI Cabang Yogyakarta periode 1985-1986, mengatakan
munculnya keputusan reinterpretasi terhadap ATUS AD HMI tidak bisa dilepaskan
dari fenomena kritik kader terhadap produk perkaderan HMI pada masa akhir 1970-an
hingga awal 1980-an. Kritik terhadap produk perkaderan kemudian bermuara pada
kritik terhadap sumbernya, yakni NDP.[20] Pernyataan
Chaeron ini selaras, atau setidaknya dapat diperkuat, dengan tulisan Syafinuddin
al-Mandari yang mengatakan setelah HMI mengalami ‘penetrasi ideologi’ terasa
adanya sebuah keinginan untuk meninjau kembali muatan-muatan NDP guna
menyempurnakan manhaj gerakan. Itulah alasan Kongres XV di Medan
memutuskan dilakukannya penafsiran kembali terhadap ATUS. Hal ini tidak
dibantah bahkan oleh perumus NDP sendiri, Cak Nur.[21]
Dan keputusan krusial Kongres 1983 yang Ketiga, yaitu
menetapkan Harry Azhar Azis dari Cabang Jakarta sebagai Ketua Umum terpilih PB
HMI, dengan didampingi oleh Alex Tofani (Ketua Badko Sumatera Utara) dan Zulfan
ZB Lindan (Ketua Umum HMI Cabang Jakarta), masing-masing sebagai Mide Formatur.
Harry Azhar Azis yang dengan dukungan cabang-cabang utama HMI kala itu;
Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Ujung Pandang (Makassar), dan lainnya, dengan
telak mengalahkan M. Saleh Khalid yang berasal dari Cabang Bogor.[22] Kemenangan
telak itu tidak lepas dari kepercayaan yang sangat besar dari cabang-cabang HMI
kepada sosok Harry Azhar Azis, yang diyakini dapat menjalankan amanat Kongres
XV dengan baik. Dengan demikian pula, seluruh keputusan yang dihasilkan oleh
forum kekuasaan tertinggi HMI di Medan tahun 1983 menjadi kewajiban
kepengurusan PB periode berikutnya (1983-1986) untuk menunaikannya.
Berdasarkan rentetan keadaan dan peristiwa di atas, maka kemudian
hari Kongres XV Medan dikenal sebagai “Kongres Perjuangan”.[23] Bukan
tanpa alasan mengatakan demikian, setidaknya ada beberapa fakta sejarah yang menjadi
indikator untuk menyebut bahwa Kongres di Medan merupakan Kongres Perjuangan. Pertama,
fakta keadaan rezim yang mulai memantapkan status quo lewat
intrik-intrik politik yang menusuk hingga ke kehidupan sosial masyarakat. Bahkan,
sayangnya beberapa dari komponen penguasa itu diisi oleh alumni HMI sendiri,
sehingga tentu saja menyebabkan HMI berada dalam situasi yang amat dilematis. Terbukti,
terpecahnya suara, pandangan serta tindakan di antara kader dan alumni HMI
sebagaimana ditulis oleh Syafinuddin al-Mandari dalam Demi Cita-Cita HMI
merupakan realitas sejarah. Artinya, bila HMI[24]
melawan kebijakan pemerintah sama artinya melawan beberapa bagian alumni dan
kader sendiri yang telah terjebak dalam paradigma tirani. Kedua,
ikhtiar-ikhtiar yang dilakukan PB HMI dan segenap panitia pelaksana yang tidak
mudah dan penuh ketegangan serta intervensi dalam proses melangsungkan Kongres
XV. Sebab izin pelaksanaan Kongres dari pemerintah hanya akan diberikan jika
HMI menerima Pancasila sebagai azas organisasi. Terakhir, Ketiga, semangat
dan komitmen bersama cabang-cabang HMI dan segenap komponen Kongres XV yang
dapat dilihat dari hasil keputusan Kongres XV yang tetap mempertahankan jati
diri organisasi sebagaimana terpasang rapi di bagian azasnya, Islam.
[1] Hasanuddin M. Saleh, HMI dan Rekayasa Asas Tunggal Pancasila,
Kelompok Studi Lingkaran dan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, Hlm. 85.
[3] Ibid.
[4] Syafinuddin al-Mandari, HMI dan Wacana Revolusi Sosial, Hijau Hitam
dan Pusat Studi Paradigma Ilmu, Jakarta, 2003, Hlm. 43-44.
[6] Data dan fakta kedzoliman pemerintah Orde Baru secara lengkap dapat dibaca
dalam buku M. Busyro Muqoddas Hegemoni Rezim Intelijen.
[8] Ibid.
[10] Syafinuddin al-Mandari, Demi Cita-Cita HMI: Catatan Ringkas Perlawanan
Kader dan Alumni HMI Terhadap Rezim Orde Baru, PT. Karya Multi Sarana,
Jakarta, 2003, Hlm. 51.
[11] Suharsono, Loc. Cit.
[16] Ibid. Anang Adenansi, anggota DPR fraksi Karya Pembangunan menanggapi
pernyataan Abdul Ghafur sebagaimana dimuat dalam Sinar Harapan. Ia mengatakan
bahwa cara-cara yang dilakukan Menpora itu sendiri bertentangan dengan
Pancasila, “Bagaimana bisa mengharapkan orang lain menerima Pancasila kalau ia
sendiri tidak menghormati Pancasila?” kata Anang. Selanjutnya ia mengatakan
bahwa untuk membina generasi muda jangan mendidik mereka untuk melanggar
konstitusi, “Kita harus tahu bahwa kongres itu lembaga tertinggi dari suatu
organisasi”, tegasnya. Terhadap peristiwa Kongres XV di Medan Anang Adenansi
menilah Abdul Ghafur salah langkah dalam pendekatannya. Lihat dalam Sinar
Harapan, 16 Juni 1983.
[17] Ash-Shaff, Laporan Pertanggungjawaban Pengurus HMI Cabang
Purwokerto, 1405-1406 H/ 1985-1986 M, Hlm. 79.
[18] Lukman Hakiem, “Mereka Tidak Anti Pancasila”, dalam Agussalim Sitompul
(Ed.), HMI Mengayuh di Antara Cita dan Kritik, AdityaMedia, Yogyakarta,
1997, Hlm. 79. Bahkan, Tempo edisi 4 Juni 1983 memberitakan ketika Ketua
Presidium Kongres membacakan keputusan bagian Anggaran Dasar Pasal 4, bahwa
azas HMI “tetap Islam”, teriak Allahu Akbar gemuruh menyambutnya. Dalam Ash-Shaff,
Loc. Cit.
[19] Rusdiyanto, “Perjuangan HMI MPO Cabang Yogyakarta Pada Masa Orde Baru:
1986-1998”, Skripsi pada Program Sarjana Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas
Adab dan Ilmu Budaya, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta,
2013, Hlm. 27.
[20] Diskusi dengan Muhammad Chaeron AR di kediamannya, Kabupaten Pekalongan,
Pada Tanggal 26 November 2018.
[23] Pernyataan berikut ini sekaligus diperuntukkan menjawab kegelisahan Lukman
Hakiem yang dalam salah satu tulisannya menulis, Dan entah dari mana asal
muasalnya lahir slogan; “Kongres XV, Kongres Perjuangan”. Lihat dalam Lukman
Hakiem, “Mereka Tidak Anti Pancasila”, dalam Agussalim Sitompul (Ed.), HMI
Mengayuh di…, Op. Cit., Hlm. 80
[24] HMI yang dimaksud di sini ialah struktur kepengurusan yang menjalankan
roda organisasi.
1 comments
Mantap mas,lanjutkan moga bermanfaat bagi yg lain juga...👍
ReplyDelete