Jalan Panjang Agraria Indonesia: Sebuah Review atas "Melacak Sejarah Pemikiran Agraria"
ilustrasi gambar: galeribukujakarta.com
Oleh: Ahmad Ainun Najib
...terkait “deferensiasi sosial”. Pelaksanaan Revolusi Hijau melalui pengenalan benih baru, penggunaan alat-alat pertanian modern, penggunaan bahan-bahan kimia, penyuluhan dan pemberian kredit, hanya dapat diakses oleh kalangan atas masyarakat tani. Dalam kondisi penguasaan yang timpang dan tidak dilakukan restrukturisasi terhadapnya, pelaksanaan Revolusi Hijau justru mengakibatkan semakin jauhnya kesenjangan sosial antara petani kaya dengan petani miskin (buruh dan tuna kisma).
Sebagai pembuka, perlu kiranya saya jelaskan beberapa hal terkait buku ini, Melacak Sejarah Pemikiran Agraria: Sumbangan Pemikiran Mazhab Bogor, karya Ahmad Nashih Lutfi. Pertama, bahwa buku ini diangkat dari tesis si Penulis pada Program Pascasarjana Ilmu Sejarah UGM, di mana beliau mencoba melacak sejarah pemikiran agraria dari dua tokoh pejuang agraria mazhab bogor, mereka adalah Prof. Dr. Sajogyo dan DR. HC. Gunawan Wiradi, M. Soc. Sc. Kedua, istilah mazhab bogor sendiri merujuk pada kelompok yang berasal dari ilmuwan Bogor di mana kedua tokoh tersebut berkecimpung dan mengkaji persoalan-persoalan pedesaan dari aspek sosial ekonomi dan mencoba menundukan disiplin sosiologi agar relevan dalam usaha memahami pembangunan pedesaan di mana hal-hal terkait agraria menjadi pembahasan utamanya.
Hukum Agraria Sebelum
Kemerdekaan
Sering dari kebanyakan kita terjebak dalam memahami agraria yang hanya
sebatas persoalan tanah. Bagi Ahmad Nasihih Lutfi sendiri agraria bukan saja
berbicara menyangkut tanah, namun apa yang di bawahnya dan apa yang ada di
atasnya. Apa yang ada di bawah tanah ialah mencangkup air dan berbagai bahan
tambang serta mineralnya. Sedangkan yang ada di atas tanah mencangkup semua
tumbuhan berupa tanaman pertanian, perkebunan dan perhutanan, lengkap dengan bangunan
sosialnya.
Persoalan tanah dan praktek ketidakadilan yang menyertainya yang bisa
dilacak dari buku ini ialah sejak masuknya kolonialisme di Indonesia. Secara
garis besar, kolonialisme tak bisa dilepaskan dari persoalan agraria, hal ini
dikarenakan bahwa pada prinsipnya hakekat sejarah kolonial di Indonesia adalah
sejarah eksploitasi sumber-sumber agraria di nusantara. Bagaimana hasil
tumbuh-tumbuhan dan rempah-rempah yang ada di nusantara kala itu diangkut ke
eropa dan menyisakan kekejaman praktik kolonialisasi berupa tanam paksa di
negara jajahanya. Sehingga menjadi jelas bahwa perjuangan kemerdekaan
sesungguhnya ialah berjuang merebut kembali alat produksi berupa tanah dan merestrukturisasi pengelolaan tanah kepada
segenap rakyat Indonesia ke arah yang lebih berkeadilan.
Adapun paraktek perampasan lahan di Hindia Belanda kala itu dimulai dengan
lahirnya kebijakan ekonomi liberal yang dikukuhkan melalui Agrarische Wet
tahun 1870 yang diundangkan melalui Lembaran Negara (Staadsblad) No. 55
Tahun 1870, disusul dengan aturan No. 118, 1870, yang di dalamnya terdapat
pernyataan domein verklaring, “bahwa semua tanah yang tidak dapat
dibuktikan kepemilikannya, baik secara individual ataupun komunal, maka tanah
itu menjadi domain (milik) negara”. Undang-undang Agraria tahun 1870 tersebut
merupakan titik tolak sejarah pertanian Barat di Hindia Belanda. Dalam konteks
ekonomi politik, peraturan itu menciptakan kondisi bagi akumulasi kapital, dan
dalam konteks sosial di masyarakat kala itu, menambah siksaan bagi rakyat yang
tidak mampu membuktikan kepemilikan tanahnya dengan berakhir sebagai buruh tani
di perkebunan swasta yang telah merampas tanahnya.
Perjuangan di balik
lahirnya UUPA
Gagasan untuk merestrukturisasi penguasaan sumber-sumber agraria telah
diusung jauh-jauh hari oleh para pendiri bangsa. Kemerdekaan ialah kesempatan bagi rakyat Indonesia
untuk merebut kembali alat produksi berupa tanah yang sebelumnya dikuasai oleh
pihak Kolonial agar direstrukturisasi pengelolaannya kepada segenap rakyat
Indonesia. Pada tahun 1946 pemerintah mulai melakukan restrukrisasi tanah
secara legal dengan mengundangkan UU No. 13 Tahun 1946 yang menghapus desa-desa
perdikan di Banyumas. Kemudian disusul pula upaya-upaya dengan mengadakan
berbagai macam seminar, kajian dan diskusi yang dipersiapkan untuk merumuskan
Hukum Tanah Nasional (HTN).
Melalaui Penetapan Presiden No. 16 Tahun 1948, terbentuklah Panitia Agraria
Yogya yang diketiau oleh Sarimin Reksodiharjo. Tugas panitia di sini lebih
bersifat persiapan untuk menyusun hukum agraria yang baru. Setelah itu pada
tahun 1950-an melalui prakarsa Menteri Pertanian, Soenaryo, dibuatlah RUU
Agraria. Berbagai simposium di beberapa kota diadakan untuk mengggodok RUU
Agraria tersebut.
Setelah melalui perjalanan panjang, pada 1 Agustus 1960 RUU Agraria
tersebut kemudian diajukan ke DPR-GR. RUU Agraia itu akhirnya disetujui oleh
DPR-GR pada tanggal 24 September 1960 dan kemudian dituangkan dalam Lembaran
Negara No. 104 Tahun 1960 sebagai Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. UUPA ini kemudian diikuti oleh Peraturan
Pemerintah pengganti Undang-undang No. 5 Tahun 1960 (yang dikenal dengan
undang-undang land reform). Sejak saat itu tanggal 24 September 1960 (hari
lahirnya UUPA) ditetapkan sebagai “Hari Tani”.
Setahun setelah diundangkannya UUPA No. 5 Tahun 1960, pemerintah disibukkan
dengan penyiapan pembentukan panitia landreform, pengadilan landreform,
dan pendanaan landreform. Baru pada tahun 1962 redistribusi tanah dapat
dilaksanakan dengan tahapan pertama di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Tahap
kedua yang direncanakan adalah kawasan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan
lainnya. Dalam perkembangannya, rencana ini gagal dilaksanakan oleh sebab
terjadinya huru-hara politik di tangkat nasional pada tahun 1965.
Revolusi Hijau
dan dampak negatif yang ditimbulkanya
Secara teoritis yang mendasari munculnya program Revolusi Hujau adalah
teori Thomas Robert Malthus (1766-1836). Teori tersebut pada dasarnya menyatakan
bahwa peningkatan produksi pangan mengikuti deret hitung (aritmetik: 1, 2, 3,
4...), sementara pertembuhan penduduk mengikuti deret ukur (geometrik: 1, 2, 4,
8...). Artinya, jumlah manusia mengalami over-population. Sehingga kelaparan
menjadi ancaman yang nyata bagi keberlangsungan hidup. Karenanya solusi harus
segera ditemukan, dan jalan keluarnya adalah: “teknologi”.
Di sini saya tidak mengulas bagaimana kerjanya Revolisi Hijau, akan tetapi
langsung menukik pada permasalahan yang ditimbulkan oleh program Revolusi Hijau
yang jarang orang singgung. Pertama terkait “deferensiasi sosial”. Pelaksanaan
Revolusi Hijau melalui pengenalan benih baru, penggunaan alat-alat pertanian
modern, penggunaan bahan-bahan kimia, penyuluhan dan pemberian kredit, hanya
dapat diakses oleh kalangan atas masyarakat tani. Dalam kondisi penguasaan yang
timpang dan tidak dilakukan restrukturisasi terhadapnya, pelaksanaan Revolusi
Hijau justru mengakibatkan semakin jauhnya kesenjangan sosial antara petani
kaya dengan petani miskin (buruh dan tuna kisma).
Masalah lain yang ditimbulkan oleh Revolusi Hijau ialah marjinalisasi
perempuan. Peningkatan teknologi yang lebih bercorak maskulin dan nihil dengan
nilai budaya pada akhirnya menyisakan pada ketiadaan akses bagi perempuan.
Peran perempuan dalam proses pembenihan hingga pemanenan dan biasanya berperan
dalam melakukan penumbukan padi, semua digantikan oleh teknologi. Hal ini tidak
hanya menyingkirkan peran perempuan terhadap kegiatan yang biasanya mereka
kerjakan selama berabad-abad, namun juga terputusnya akses dalam memperoleh
sumber penghidupan bagi mereka. Revolusi Hijau yang nihil akan peran serta
perempuan pada akhirnya juga secara tidak langsung telah mengakibatkan
“migrasi” besar-besaran kaum perempuan menjadi TKI/TKW. Hal ini dibuktikan oleh studi Jan Breman dan Gunawan Wiradi, yang mengambil lokasi di Subang dan
Cirebon.
1 comments
😍😍😍😍
ReplyDelete