ilustrasi gambar: patheos.com
Oleh: MHD Zakiul Fikri
"Agama adalah keluhan dari makhluk yang tertindas, sentimen dari dunia tanpa hati, dan jiwa dari kondisi yang tak berjiwa. Itu [baca: agama] adalah candu rakyat."
Tulisan ini merupakan review atas esai Karl Marx yang berjudul Contribution to the Critique of Hegel's Philosophy of Right: Introduction. Esai diambil dari buku The
Marx-Engels Reader yang diedit oleh Robert C. Tucker. Pada bagian awal, Karl Marx menyatakan bahwa kritik terhadap agama
merupakan dasar dari semua kritik. Basis kritik non-religius, kata Marx,
adalah: manusia menciptakan agama, agama tidak menciptakan manusia.
Agama merupakan kesadaran diri manusia selama ia belum menemukan dirinya atau
manakala ia telah kehilangan dirinya lagi. Agama, lanjut Marx, tak ubahnya
daripada bayangan utopia manusia. Sesuatu yang tidak nyata. Karenanya,
Penghapusan agama sebagai kebahagiaan khayali manusia, adalah tuntutan
kebahagiaan sejati. Marx dengan elok menggunakan perumpamaan untuk menjelaskan
pandangannya ini.
Lewat kritik
terhadap agama Marx beranjak untuk mengkritisi kondisi sosial politik Jerman.
Kritik sendiri dalam paham Karl Marx ialah senjata yang bertujuan untuk
menghancurkan. Sementara, dalam kaca mata Marx Jerman tertinggal jauh
dibandingkan dengan negara seperti Inggris dan Prancis. Menurutnya, chauvinisme
Jerman telah beralih dari manusia ke materi. Karenanya, Marx ‘mengajak’ agar
Jerman kritis terhadap dirinya sendiri. Cita-citanya terkait politik Jerman
ialah terwujudnya apa yang dinamakan sebagai emansipasi politik dalam kerangka
emansipasi manusia universal. Hal demikian merupakan revolusi radikal yang akan
mengangkat Jerman tidak hanya ke tingkat negara modern tetapi ke tingkat
manusia yang akan menjadi masa depan langsung negara tersebut.
Selanjutnya, sebelum
Marx berbicara lebih jauh tentang proletar dan revolusi radikal atau emansipasi
manusia universal di bagian akhir tulisan, ia kembali menegaskan kritiknya
terhadap agama. Menjadi radikal, kata Marx, berarti memahami akar masalah.
Tetapi, bagi manusia, akarnya adalah manusia itu sendiri. Dalam hal ini, kritik
terhadap agama oleh Marx berakhir dengan ajaran bahwa manusia adalah esensi
tertinggi bagi manusia. Karenanya, menggulingkan semua hubungan di mana manusia
adalah esensi yang direndahkan, diperbudak, ditinggalkan, tercela, dan hal
buruk lainnya merupakan suatu keharusan.
Esai ini dapat disebut sebagai ekspresi dari pikiran radikal seorang Karl Marx yang diuraikan dengan sangat
bagus. Yang menegaskan perlunya revolusi radikal sebagai cara untuk
merealisasikan diri manusia yang sejati. Jerman diambil sebagai titik fokus
revolusi, dan proletariat sebagai kendaraan kelas. Selain itu,
Marx, menurut saya, telah membawa manusia Jerman dari agama khayali ke agama
bumi yang nyata. Terakhir, pengaruh Feuerbach dan Hegel tampak jelas dalam
tulisan ini meski dijelaskan dalam versinya sendiri.
Perihal agama, meski kadangkala terkesan berlebihan, kritik tajam Marx
terhadap agama terlukis dengan jelas dalam esainya
ini. Ia mengatakan “penderitaan agama pada saat yang
sama merupakan ekspresi penderitaan nyata dan protes terhadap penderitaan
nyata. Agama adalah keluhan dari makhluk yang tertindas, sentimen dari dunia
tanpa hati, dan jiwa dari kondisi yang tak berjiwa. Itu [baca: agama] adalah candu
rakyat.”
Marx tampak
tidak membedakan apa bedanya antara agama dengan orang beragama. Sehingga terkesan
bahwa kritiknya lebih tertuju kepada praktik agama Katolik di Eropa, bukan prinsip
dasar dari agama itu sendiri. Bahkan, kecuali untuk gerakan Protestan yang sempat disinggungnya sedikit, dalam
skala praktik agama pun Marx tidak membandingkannya dengan praktik agama yang
dilakukan oleh orang lain di tempat lain dengan basis agama lain. Karenanya,
kemungkinan generalisasi yang dilakukan Marx tentang agama merupakan
keniscayaan.
Pandangan Marx
itu pun, lagi-lagi, wajar saja karena ia adalah seorang penganut materialisme
yang fokus pada fenomena praktis. Fenomena yang ia lihat dan alami dalam perjalanan
hidupnya secara material. Sehingga fenomena praktis itu dijadikan sebagai basis
tindakan. Meskipun ia tidak pernah mengkritik nilai-nilai abstrak dari prinsip
dasar agama, basis tindakannya itu sekaligus menolak keberadaan konsepsi
absolut-magis yang menjadi ciri khas agama. Terakhir, Marx tidak
mendeklarasikan dirinya sebagai orang yang tak bertuhan (ateis). Hanya saja
dalam hal agama, Karl Marx tampaknya telah menemukan agamanya sendiri, yakni
Materialisme. Dalam filsafat materialismenya, Karl Marx telah mengkonstruksikan sendiri nilai-nilai absolut-magis yang menjadi ciri agama tersebut.
0 comments