ilustrasi gambar: graphitepublications.com
"...‘program stabilisasi’ (stabilization programs) yang digelontorkan IMF merupakan program yang melemparkan negara-negara ke lautan lepas. Mereka memang, pada akhirnya, stabil, tetapi keseimbangan baru itu dicapai dengan melemparkan jutaan orang ke laut: pekerja sektor publik, pemilik usaha kecil, petani subsisten, serikat buruh."
Sekitar seminggu lalu, pertengahan Maret 2020, saya
menghubungi beberapa orang meminta saran referensi bacaan perihal kapitalisme atau
pun neoliberalisme. Referensi yang sementara saya cari untuk melanjutkan projek
penulisan salah satu artikel. Dari seorang kawan dekat, eks mahasiswa ekonomi, saya
disodorkan judul buku The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism
karya Naomi Klein. Langsung saja, saya mencari bahan tersebut di berbagai
perpustakaan online atau pun lapak gratis e-book bajakan yang ada
di mana-mana. Selang beberapa menit saja, sekitar 2-3 menit, cus! File buku
tersebut tersimpan ke laptop.
Buku yang pada edisi 2007 diterbitkan Metropolitan Books
dengan Henry Holt and Company ini bercerita bagaimana dunia dikejutkan;
pertama, dikejutkan oleh perang, terror, kudeta dan bencana alam. Lalu, kedua dikejutkan
lagi oleh perusahaan-perusahaan dan para politisi yang mengeksploitasi
ketakutan mendorong dunia ke arah terapi kejutan ekonomi (economic shock
therapy) sebagai jalan keluar dari peristiwa kejutan pertama tadi semisal
memberi bantuan berupa utang, menaik atau menurunkan harga sekenanya dan dalam
bentuk lain. Jika ada yang mencoba menentang kebijakan economic shock therapy
akan dikejutkan untuk ketiga kalinya, jika perlu, menggunakan kekuatan militer
seperti polisi, tentara, dan semacamnya. Demikianlah cara kerja neoliberalisme
atau peranakan laissez-faire yang ditulis Naomi.
Laissez-faire merupakan anak kandung yang lahir dari rahim pemikiran Adam
Smith, yang menginginkan ekonomi dijalankan dengan mekanisme pasar bebas atau
dikenal juga sebagai kapitalisme murni (pure capitalism). Wujud laissez-faire
pada masa sekarang itulah dia neoliberalisme. Naomi mengurai bagaimana penganut neoliberalisme di
bawah asuhan misionarisnya Milton Friedman, yang juga mendorong lahirnya kelompok Chicago boys, menjalankan misi pemurnian kapitalisme di berbagai belahan dunia lewat tiga
langkah kejutan di atas.
Semua aset-aset berbau negara (publik) harus
diprivatisasi, mulai dari tanah sebagai basis sumber daya alam, perusahaan
hingga sekolah-sekolah. Program yang berbau publik harus dihilangkan, seperti
jaminan kesehatan, subsidi dan sebagainya. Kalau tidak bisa maka harus
dimatikan pertumbuhannya, istilah yang digaungkan "privatized or die"
(privatisasi atau mati). Pemerintahan yang menentang rencana pemurnian kapitalisme
akan ditumbangkan lewat berbagai cara, diganti dengan pemerintahan baru di
bawah dukungan kelompok pro kapitalimse. Dukungan itu merupakan dukungan
politik, ekonomi, dan lainnya secara riil (termasuk juga persenjataan). Pihak-pihak
yang melawan akan disingkirkan, dicabut hak politiknya, diasingkan, dihilangkan
atau bahkan dibinasakan alias dibunuh.
Kasus-kasus yang dikutip Naomi untuk menerangkan praktik
neolib mulai dari daerah Amerika Selatan, Eropa, Afrika hingga Asia, termasuk Asia
Tenggara. Pemerintahan yang berhaluan komunis atau kapitalisme setengah hati,
habis dibabat dalam rentang waktu pertengahan 1960-an hingga 1990-an. Komunisme-sosialisme
dinarasikan sebagai aib, jahat dan segala bentuk keburukan lainnya. Naomi
menjelaskan juga bagaimana IMF (International Monetary Fund) menjadi bagian
yang tidak dapat dipisahkan dari Chicago Boys, begitu pun dengan Mafia Berkeley
dalam konteks Indonesia yang banyak memainkan peran dalam menyiapkan kebijakan
ekonomi negara pada masa Soeharto.
Dalam tulisannya, Naomi menegaskan bahwa ‘program stabilisasi’ (stabilization programs) yang digelontorkan
IMF merupakan program yang melemparkan negara-negara ke lautan lepas. Mereka
memang, pada akhirnya, stabil, tetapi keseimbangan baru itu dicapai dengan
melemparkan jutaan orang ke laut: pekerja sektor publik, pemilik usaha kecil,
petani subsisten, serikat buruh. Rahasia buruk "stabilisasi", demikian penulis, adalah bahwa sebagian besar (orang-orang yang dilemparkan itu) tidak pernah naik kembali. Mereka berakhir di
daerah kumuh seperti rumah bordil (pelacuran).
0 comments