Ekofenomenologi: Upaya Seorang Pemikir Mendobrak Jalan Buntu [Sebab] Antroposentrisme
ilustrasi gambar: desain cover buku Ekofenomenologi: Mengurai Disekuilibrium Relasi Manusia dengan Alam karya Saras Dewi, terbitan Marjin Kiri tahun 2015.
Oleh: MHD Zakiul Fikri
"Manusia tak lagi dipandang terisolir dari alam, begitu juga dengan keberadaan alam, ia tidak semudah itu ditempatkan sebagai objek komplementer dalam hidup manusia."
Tulisan ini merupakan review atau tepatnya
(mungkin) resume atas buku Ekofenomenologi: Mengurai Disekuilibrium
Relasi Manusia dengan Alam yang ditulis oleh Luh Gede Saraswati Putri
atau umum dikenal Saras Dewi. “Alam adalah faktisitas, ia adalah pemicu
kebebasan juga pengingat tentang keterbatasan manusia.” Ungkap Dewi setelah
mengutip salah satu pernyataan pemikiran dari Marleau-Ponty. Sayangnya, manusia
modern masih mewarisi residu pola pikir purba yang ingin berkuasa dan
mengutamakan kepuasan anggota tribalnya semata; sehingga tidak peka terhadap
kepentingan yang sifatnya lebih besar. Padahal, kepesatan teknologi dan
hiper-industrialisasi yang terangkum dalam perubahan yang mengatasnamakan
kepentingan manusia sering kali merusak ekuilibrium ekosistem.
Bagi Dewi pikiran etis kurang tajam membedah dan
memilah substansi permasalahan kerusakan alam. Oleh sebab itu, ia mencoba
meradikalisasi permasalahan tersebut lewat jalan filsafat. Lebih lanjut, Dewi
mengatakan bahwa rekonstruksi terhadap alam yang rusak tidak dapat diselesaikan
melalui pandangan etis praktis saja, melainkan melalui pemahaman ontologi
tentang alam. Berbeda dengan konsep ontologi umumnya yang mengalienasi manusia
dengan alam, Dewi dalam bukunya ini menyajikan ontologi baru yang menyorot
secara spesifik relasi manusia dan alam. Manusia tak lagi dipandang terisolir
dari alam, begitu juga dengan keberadaan alam, ia tidak semudah itu ditempatkan
sebagai objek komplementer dalam hidup manusia. Berangkat dari fenomenologi
Heidegger yang menurutnya merupakan metode yang tepat untuk mengkritisi
naturalisme yang terlampau mengisolasi peran subjek (baca: manusia) demi
mengetahui kebernaran di balik objek, Dewi mengangkat fenomenologi lingkungan
sebagai pisau analisa yang lebih komprehensif dalam melacak relasi manusia dan
alam.
Selama filsafat modern yang dikukuhkan dengan kehadiran
Descartes, pemahaman utama tubuh selalu dikontraposisikan dengan jiwa dan
pikiran. Setelahnya, kaum empiris secara sempit menempatkan tubuh sebagai
instrument mencari pengetahuan. Tubuh hanya alat mengetahui objek. Menurut Dewi
ada dua reduksi terhadap konsep tubuh yang terjadi, yaitu tubuh dianggap
sebagai bukan jiwa, lalu tubuh sebatas reseptor pasif dari subjek. Pandangan
ini kemudian difalsifikasi atau bahkan didekonstruksi oleh Dewi dengan
pendekatan fenomenologi lingkungan yang menyorot secara partikular relasi
subjek dengan lingkungannya. Sesuai dengan disiplin fenomenologi, tema sentral
metode ini adalah memahami relasi antara subjek dengan dunianya. Untuk itu,
intisari filsafat fenomenologi lingkungan ini ia ambil dari Edmund Husserl, Maurice
Merleau-Ponty, dan Martin Heidegger.
Fenomenologi Husserl, Demikian Dewi, berperan
signifikan membangun fondasi bagi perkembangan fenomenologi yang menggugat
dibentuknya metode baru untuk memahami realitas. Husserl mengkritik
objektivisme, psikologisme, naturalisme bahkan intelektualisme Cartesian. Bagi
Husserl metode tersebut sekedar mereduksi alam menjadi objek observasi yang
kaku atau dipandang sebatas bagian dari kesadaran subjek sehingga alam tidak
mendapatkan kedudukan semestinya. Husserl melontarkan kritik terhadap
metode-metode itu dengan mengorbitkan teori noema dan noesis.
Ia mengatakan bahwa kesadaran noematik subjek menunjukkan realitas alam apa
adanya dan tidak dipengaruhi putusan, maupun nilai subjek. Inilah keterangan
fundamental yang menurut Dewi menjadikan pemahaman manusia tentang alam tidak
sepatutnya mendahului keberadaan alam itu sendiri. Berangkat dari fenomenologi
Husserl inilah misi utama fenomenologi lingkungan dapat dikembangkan, yakni
pencarian relasi ontologis antara manusia dan alam.
Selanjutnya, ontologi tubuh Merleau-Ponty juga
menjadi fondasi penting dari rangka teori fenomenologi lingkungan Saras Dewi.
Secara radikal Merleau-Ponty menegaskan tubuh mengisyaratkan metode ontologis
yang lebih komprehensif tentang subjek. Dewi mengatakan,
Pendekatan
epistemologis Merleau-Ponty ini merobak Empirisme dan Intelektualisme
sekaligus. Pertama, properti dari objek mandiri adanya serta bukan
komponen dari kesadaran subjek…Kedua, pengetahuan tentang objek bukan
proses mengetahui yang langsung atau muncul apa adanya tetapi refleksi atau
kesadaran. Maksudnya, kesadaran ini adalah kesadaran tentang sesuatu. Kesadaran
akan sesuatu merupakan pendekatan fenomenologis yang menolak pandangan
simplistik kaum empiris yang menyatakan bahwa dunia objek terbuka serta
diketahui secara otomatis ketika dicerap sensor inderawi.
Bagi seorang fenomenolog, lanjut Dewi, gerakan
tidak saja terjadi secara kasat mata, tetapi juga subtil, hingga dibutuhkan
refleksi lebih sensitive terhadap relasi tersembunyi antar subjek dengan objek.
Merleau-Ponty mengatakan, “Perlu ditelusuri ulang di bawah kedalaman tertentu,
layaknya ikatan antar benda, atau antar bidang yang sama.” Dewi melihat bahwa
penemuan kembali relasi itu yang ingin dicapai Merleau-Ponty melalui ontologi
tubuhnya, sekaligus merupakan langkah revolutif yang memungkinkan pikiran
radikal soal hal yang dapat diketahui tentang subjek dan situasinya di dunia.
Mengenai relasi manusia dan alam, alam adalah dunia berbeda di mata
Merleau-Ponty, yang memiliki relasi fundamental bagi manusia. Dalam arti, bukan
hanya sebatas sumber daya bagi manusia tetapi mendasar bagi eksistensinya.
Lebih lanjut, dalam pandangan Merleau-Ponty,
Eksistensi
manusia tidak saja ditopang melalui kebutuhan biologisnya, tetapi ia
membutuhkan relasi intensional guna memaknai hidupnya. Relasi ini menurutnya
tidak saja simetris dengan sesama manusia tetapi juga terhadap alam maupun
makhluk hidup lainnya. Manusia hidup dari pengalamannya, ia menyatakan dirinya
bereksistensi ketika merasakan situasinya. Terlalu kecil rasanya meletakkan
alam hanya sebagai latar belakang bagi manusia. Alam adalah ruang dan waktu
bagi manusia.
Pendekatan ontologis Merleau-Ponty menurut Dewi
membuka perspektif baru untuk memikirkan bagaimana subjek dan objek saling bersinggungan.
Bagaimana manusia merasakan realitas dengan pengalaman tubuhnya, tidak saja
berdasarkan rasio, atau hukum yang selama ini diinternalisasi secara kultural
oleh komunitasnya. Pengalaman riil itu menjalin subjek dan objek dengan
pemahaman lebih ontologis. Ontologisasi itu penting agar relasi tersebut
menghasilkan keadilan dan keseimbangan.
Selanjutnya teori Heidegger tentang In-der-Welt-sein (Ada-dalam-Dunia).
Heidegger menegaskan bahwa subjek berkesadaran atau Dasein selalu
terikat dengan dunianya. Dunia itu merupakan penentu dari eksistensinya. Ia
merasakan ruang dan waktu. Tidak hanya itu, atas pengaruh alam, manusia
membangun diri dan dunianya. Artinya, subjek memahami berharganya lingkungan.
Hal itu dilakukan melalui refleksi atas kehidupannya yang bergantung pada
keberadaan alam. Dewi di sela membahas pemikiran Heidegger juga menampilkan
ironi yang menjadi problem utama bagi manusia berteknologi, yakni
ketidakpeduliannya dengan alam.
Penggunaan serta pengembangan teknologi manusia
nyatanya mendeteriosasi kondisi alam. Semakin pesat peradaban manusia
memperburuk kondisi alam. Antroposentrisme dituding dalang di balik kerusakan
alam itu. Lantas, bagaimana manusia harus bersikap terhadap teknologi? Apakah
manusia harus meninggalkan teknologi agar alam dapat diselamatkan? Untuk
menjawab dua pertanyaan ini, Dewi kembali pada pemikiran Heidegger. Heidegger
mempertanyakan “apakah teknologi?” sebab menurutnya manusia sering
menyederhanakannya sebagai alat yang dipergunakan manusia untuk memudahkan
hidupnya. Namun, itu bukan esensi dari teknologi. Mengali entitasnya lebih dari
sebatas alat, membuat manusia lebih peka terhadap relasi dirinya saat ia
berkesadaran untuk berteknologi.
Heidegger menegaskan pemahaman ontologis Dasein dengan
teknologi akan berdampak langsung terhadap bagaimana manusia
mengaplikasikannya. Dewi mengutip salah satu pernyataan Heidegger dalam Basic
Writing,
“Segalanya
bergantung terhadap kemampuan memanipulasi teknologi terkait dalam sikap
penggunaannya. Sehingga kita dapat menyatakan bahwa teknologi yang dipergunakan
adalah cerdas. Kita harus menguasai teknologi tersebut. Kehendak untuk
menguasai semakin genting, sehubungan semakin terlepasnya teknologi dari
kontrol manusia.”
Seturut pernyataan Heidegger itu, Dewi mengatakan
bahwa “teknologi yang terancam kehilangan kontrol manusia” menjadi pernyataan
yang patut direnungkan. Bagaimana kendali itu dapat hilang? Pernyataan
Heidegger merupakan kekhawatiran manusia menggunakan teknologi tanpa
mempertimbangkan dampak maupun esensinya. Teknologi tidak lagi menjadi aspek
kreatif yang dikuasai manusia, melainkan menyisakan akibat yang tidak dapat
dikendalikan manusia. Untuk itu, tanggung jawab merupakan poin penting filsafat
Heidegger yang merupakan tanda otentisitas, kebebasan dan dalam arti Heidegger,
kehadiran Dasein. Teknologi adalah wujud ambisi Dasein menunjukkan
kebebasannya. Bagi Heidegger, kreator mesti memahami tanggung jawab serta
relasinya dengan objek yang diciptakan.
Terakhir, Saras Dewi mencoba menyusun lagi
bagaimana cara mewujudkan ekuilibrium di tengah disekuilibrium ini. Menurutnya
menyerahkan otoritas pada negara semata sebagai pemeran tunggal agar alam dapat
terawat merupakan wujud kepatuhan palsu yang tidak sungguh-sungguh membahas
kesadaran subjek ataupun partisipasi bebas subjek dalam mengupayakan
ekuilibrium. Sebaliknya, sikap anarkisme juga terlampau ekstrem dalam kondisi
faktual yang ada sekarang, mengingat negara sesungguhnya masih relevan sebagai
pengatur kebijakan yang memberi ruang pertimbangan etis bagi alam. Dilema itu
menurut Dewi dapat dijawab apabila ada kesadaran ontologis relasi manusia dan
alam yang lebih adil. Karena ontologi menjadi dasar segala teorisasi ekologis,
politis, ekonomi, maupun sosial turunannya. Perubahan tentang ekuilibrium tidak
perlu jatuh pada utopianisme. Perubahan justru akan menjadi radikal apabila
bertolak dari akarnya, yakni pemahaman relasi baru, relasi ontologis manusia
dengan alam.
0 comments