Sekilas tentang buku “Dari Gerakan Sosial Menuju Pengakuan Hukum (Politik Hukum Hak Atas Tanah Masyarakat Adat Sibiruang Perspektif Lokal hingga Internasional)”
“Kalau negara
tidak mau mengakui kami, maka kami tidak mau mengakui negara” demikian itulah
sepenggal kalimat yang terlontar pada kisaran tahun 1999 oleh para pemrakarsa
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara. Terkesan keras, seolah mengarah pada gerakan
denial terhadap eksistensi negara. Namun, lebih jauh, kalimat tersebut
merupakan bentuk rasa sakit yang telah lama dipendam oleh masyarakat adat.
Kemerdekaan dari penjajahan kolonialisme Eropa dan Asia Timur pada mulanya
diharapkan menjadi angin segar bagi masyarakat adat agar dapat mengelola sumber
kekayaan adat yang mereka miliki dalam keadaan aman.
Secercah harapan
mereka gantungkan kepada negara post kolonial–Indonesia. Masyarakat adat
percaya bahwa negara baru ini memiliki akar pesakitan yang sama akibat
penjajahan. Dengan demikian, tidak mungkin negara tersebut akan melakukan hal
yang sama menindas, merampok, dan mempersempit atau bahkan membunuh ruang bagi
masyarakat adat untuk mengakses kekayaan adatnya secara bebas dan aman–terutama
tanah adat dan ulayat.
Harapan itu
tampaknya tidak menunjukkan hasil yang signifikan, setelah 45 tahun merdeka
dari jajahan bangsa Eropa dan Asia Timur, sehingga tahun 1999 masyarakat adat
masih saja berada pada keadaan yang sama. Masih dianggap sebagai komunitas
tertinggal, terpencil, terbelakang dan bahkan dianggap pula sebagai perambah
hutan. Padahal, hutan yang digarap, dalam klaim masyarakat adat, merupakan
hutan ulayat adat mereka yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka secara
turun-temurun selama ratusan hingga ribuan tahun yang lalu. Mereka juga tidak
sepenuhnya tertinggal, terpencil, maupun terbelakang karena pengetahuan
mekanikal tradisional mereka dapat menjaga subsistensi hidup dan alam yang ada
di sekitarnya secara berkelanjutan.
Negara post
kolonial, alih-alih memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat
dalam mengelolah tanah ulayatnya, justru merampok tanah-tanah itu melalui
kewenangan mereka untuk membuat suatu regulasi dan menetapkan wilayah-wilayah
tertentu secara top down sebagai
kawasan hutan negara. Hingga hari ini ternyata persoalan pengakuan dan
perlindungan terhadap hak atas tanah masyarakat adat masih saja menjadi
pekerjaan rumah yang belum juga selesai. Singkatnya, kondisi ini yang menjadi
salah satu latar lahirnya buku “Dari Gerakan Sosial Menuju Pengakuan Hukum.”
Kerentanan masyarakat
adat atas tanah adat yang menurut klaim mereka merupakan warisan leluhur untuk
kelangsungan hidup anak cucunya secara berkelanjutan menjadi dasar kegelisahan
atas penulisan buku ini. Dalam kesadaran penulis, dan kiranya khalayak
sekalian, kerentanan itu bukan hanya disebabkan oleh infilstrasi kapitalisme
yang begitu kuat ke pedesaan, yang menjadi lumbung keberadaan masyarakat adat
umumnya. Namun, ternyata, juga disebabkan oleh kurang memadainya kerangka
regulasi yang ada dalam mengakui dan melindungan hak-hak masyarakat adat.
Buku ini mencoba
mengajak pembaca untuk menyelami berbagai kerangka regulasi yang ada, baik di
tingkat lokal, nasional, hingga internasional tentang bagaimana pengakuan dan
perlindungan masyarakat adat itu diatur. Bukan sekadar menyelam untuk
mengetahui, tetapi juga mengajak pembaca untuk merenungkan–merefleksikan–dampak
dari regulasi tersebut bagi masyarakat adat secara langsung. Penulis yakin dan
percaya, Sibiruang–subjek yang penulis bahas sebagai percontohan sepanjang
penulisan buku ini–hanyalah secuil potret dari sekian banyak kasus sulitnya
masyarakat adat di Indonesia mendapat pengakuan dan perlindungan secara hukum
dalam mengelola tanah adat atau tanah ulayatnya.
Lebih lanjut, catatan kecil dalam bentuk buku ini dapat dipesan melalui https://celios.co.id/buku/dari-gerakan-sosial-menuju-pengakuan-hukum-politik-hukum-hak-atas-tanah-masyarakat-adat-sibiruang-perspektif-lokal-hingga-internasional/
0 comments