Kemunculan bank tanah, lebih jauh, justru membuka jalan bagi privatisasi tanah karena perannya menjadi makelar tanah untuk menyediakan lahan kosong yang aman bagi para investor swasta melalui skema jual beli atau sewa menyewa terhadap objek tanah tersebut. Hal ini tidak sejalan dengan larangan monopoli swasta yang diatur oleh UUPA 1960.
Bank tanah, salah satu isu yang disebut pada saat debat
wakil presiden tempo hari, idealnya dibuat untuk menyelesaikan masalah tata
kelola pertanahan di Indonesia. Masalah tata kelola pertanahan yang dimaksud
harusnya, seperti; ketidakjelasan sempadan antara mana yang masuk tanah adat
rakyat, mana tanah ulayat, tanah negara, dan mana yang termasuk kawasan hutan.
Di samping itu, ada pula persoalan pengadaan tanah untuk pembangunan
infrastruktur pemerintah, proyek ekstraktif pertanian, kehutanan, hingga pertambangan.
Dengan berbagai persoalan itu, maka kemunculan bank tanah
idealnya sebagai lembaga untuk mempermudah proses perhutanan sosial,
legalisasi, redistribusi, ataupun rekognisi atas objek tanah guna menyelesaikan
masalah-masalah tersebut. Supaya tujuan hukum agraria (baca: pertanahan)
nasional itu tercapai yakni untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang merdeka,
adil dan makmur.
Dalam perjalanannya, alih-alih menyelesaikan masalah
pertanahan yang terjadi, bank tanah justru membawa masalah baru bagi tata
kelola pertanahan Indonesia. Manakala ditilik lebih jauh, ternyata, masalah ini
berakar dari persoalan paradigmatik yang dibawa oleh lembaga tersebut saat awal
pembentukannya hingga praktek yang dikerjakannya. Beberapa persoalan itu, di
antaranya; Pertama, Bank Tanah dibentuk tidak berdasarkan mandat UUPA 1960.
Padahal, dalam setiap perumusan tata kelolaan pertanahan semestinya merujuk
pada prinsip dan norma-norma yang diatur dalam UUPA 1960.
Sejak kemunculannya pada tahun 1960 lalu, UUPA 1960
diciptakan sebagai dasar pijakan bagi hukum agraria nasional, terutama dalam
kaitannya dengan persoalan pertanahan. Sebab, dari 67 Pasal UUPA 1960, 53 Pasal
di antaranya mengatur tentang tanah. Sayangnya, pembentukan bank tanah hanya
didasarkan pada UU Cipta Kerja. Sementara, undang-undang tersebut juga tidak
merujuk pada UUPA 1960, sehingga ia bukanlah lex specialis dari UUPA 1960. Jadi, sangat mungkin keberadaan bank
tanah dalam praktek akan jauh dari tujuan UUPA 1960 karena sejak awal
pembentukannya tidak didasarkan pada prinsip dan norma-norma hukum yang telah
diatur dalam UUPA 1960.
Kedua, kelembagaan bank tanah dan konflik kewenangan yang
ditimbulkannya. Bank tanah seturut PP No. 64/2021 merupakan badan hukum khusus
(sui generis) yang dibentuk oleh
pemerintah yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden melalui Komite. Badan
hukum ini bukan institusi sekelas kementerian dan tidak dapat disamakan dengan
BUMN, sebab itu ia tidak berada di bawah Kementerian BUMN. Bukan pula badan
hukum yang dapat mempunyai hak milik atas tanah sesuai PP No. 38/1963. Komite
bank tanah diisi oleh Menteri Keuangan, Menteri PUPR, dan Menteri lain yang
ditunjuk Presiden.
Dengan demikian, bank tanah secara tidak langsung berada di
bawah rezim yang berbeda dengan Kementerian Agraria yang lazimnya mengurusi
urusan pertanahan. Sementara itu, beberapa kewenangan dari Kementerian Agraria
juga dimiliki oleh bank tanah, misalnya hal yang berkaitan dengan redistribusi
tanah untuk reforma agraria. Kondisi ini menyebabkan kehadiran bank tanah menambah
konflik kewenangan dalam urusan pertanahan. Padahal, semestinya sui generis di sektor pertanahan tidak
meninggalkan tujuan, nilai-nilai, prinsip hukum, dan norma-norma hukum
pertanahan yang telah ada, terutama yang diatur dalam UUPA 1960.
Ketiga, kewenangan untuk mengadakan hubungan hukum
kontraktual. Salah satu skema pemanfaatan tanah oleh bank tanah yaitu kerja
sama melalui jual beli dan sewa. Dua bentuk skema kerja sama tersebut
melahirkan hubungan hukum kontraktual antara negara dengan rakyat. Hubungan
hukum yang demikian sesungguhnya dilarang oleh UUPA 1960 karena berpotensi
menimbulkan praktek pemerasan dan monopoli swasta.
Konsep jual beli antara negara dan rakyat juga tidak dikenal
dalam sistem hukum pertanahan nasional menurut UUPA 1960. Ketika negara
membutuhkan tanah untuk pembangunan, maka skema yang diatur oleh UUPA 1960
ialah pencabutan hak atas tanah. Jadi, tanah rakyat itu tidak dibeli, melainkan
haknya dicabut dengan memberikan ganti kerugian yang layak. Perlu dicatat,
pencabutan hak atas tanah ini tidak boleh sembarangan.
Selain ganti kerugian yang layak, pembangunan di atas tanah
tersebut juga harus dilakukan oleh negara sendiri, bukan swasta. Kemudian,
tidak boleh ada sekat kelas ekonomi yang dapat mengakses hasil dari pembangun
tersebut. Selain itu, Pasal 44 UUPA 1960 memang membolehkan adanya sewa menyewa
atas tanah hak milik. Namun, dikarenakan bukan termasuk badan hukum yang dapat
memperoleh hak milik atas tanah, maka bank tanah tidak diberi hak milik
melainkan hak pengelolaan.
Kemunculan bank tanah, lebih jauh, justru membuka jalan bagi
privatisasi tanah karena perannya menjadi makelar tanah untuk menyediakan lahan
kosong yang aman bagi para investor swasta melalui skema jual beli atau sewa
menyewa terhadap objek tanah tersebut. Hal ini tidak sejalan dengan larangan
monopoli swasta yang diatur oleh UUPA 1960.
Dengan beragam masalah paradigmatik yang dihadapi oleh bank
tanah, maka tidak heran ketika kehadirannya jauh dari cerminan wujud suatu
lembaga yang memperjuangankan cita-cita UUPA 1960, yakni memberikan kepastian
hukum bagi masyarakat untuk mengelola sendiri tanahnya dalam rasa aman dan
damai. Sejauh ini, bank tanah tidak lebih dari sekadar institusi yang menambah
ruang bagi penghamburan uang negara, tetapi malah dijadikan selaku makelar
pengadaan tanah bagi monopoli swasta. Di awal terbentuknya, bank tanah
memperoleh modal dari APBN sebesar 2,5 triliun rupiah. Alih-alih menyelesaikan
masalah tata batas pertanahan dengan memberikan kepastian hukum bagi rakyat
yang mengelola tanah dan mendistribusikan tanah bagi rakyat yang fakir tanah,
dengan modal tersebut bank tanah justru mengiklankan katalog produk yang berisi
peta, luas, hingga potensi tanah-tanah negara untuk diperjual belikan atau
disewakan.
Hingga akhir 2023, setidaknya lebih
dari 17.000 hektar tanah negara berada dalam katalog bank tanah. Kurang dari
3000 hektar dari total luas tanah negara itu digunakan untuk konservasi,
pembangunan infrastruktur jalan dan bandara, pertambangan, perumahan, hingga
reforma agraria. Sementara sisa lainnya masih diiklankan, menunggu tawaran
swasta untuk membeli atau menyewanya. Keberadaan reforma agraria dalam proyek
bank tanah seolah sejalan dengan cita-cita UUPA 1960. Namun, sesungguhnya
praktek bank tanah sejauh ini tidak ubahnya seperti perusahaan properti
pertanahan. Apakah itu sesungguhnya maksud dari hak menguasai negara yang
diinginkan oleh UUPA 1960?
Jawabannya adalah tidak. Negara dalam bentuk badan apapun oleh UUPA 1960 tidak boleh membangun bisnis properti yang berhubungan langsung dengan hak atas tanah dengan rakyat. Kewajiban negara oleh UUPA 1960 ialah memberikan tanah kepada rakyat yang mengelola, mencegah pengelolaan tanah dari pemerasan, mencegah kepemilikan tanah yang terlalu luas, hingga melarang monopoli tanah oleh swasta. Karenanya, mandraguna bank tanah belum bisa menjamin terlaksananya kewajiban yang dibebankan oleh UUPA 1960 tersebut kepada negara sebagai organisasi kekuasaan yang mengurusi tata kelola pertanahan di Indonesia. Lebih jauh, bank tanah bukanlah solusi dari masalah pertanahan yang sedang berlangsung.
*Artikel
ini pernah terbit di Koran Tempo edisi 12 Maret 2024 dengan judul “IlusiMandraguna Bank Tanah”
0 comments